Label

Senin, 24 September 2012

Epistaksis (MIMISAN)



BAB  I
PENDAHULUAN

Epistaksis yaitu perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan yang berasal dari septum bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior). Prevalensi yang sesungguhnya dari epistaksis tidak diketahui, karena pada beberapa kasus epistaksis sembuh spontan dan hal ini tidak dilaporkan.
Epistaksis anterior dapat terjadi karena berbagai macam penyebab.Secara umum penyebab epistaksis anterior dapat dibagi atas penyebab lokal dan penyebab sistemik.Penyebab lokal yaitu trauma, benda asing, infeksi, iatrogenik, neoplasma dan zat kimia.Penyebab sistemik antara lain yaitu penyakit kardiovaskular, gangguan endokrin, infeksi sistemik, teleangiektasis hemoragik herediter, kelainan hematologi, obat- obatan dan defisiensi vitamin C dan K.
Untuk menegakkan diagnosis dari epistaksis anterior dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Sumber perdarahan dapat ditentukan dengan pemasangan tampon yang telah dibasahi dengan larutan pantokain 2% dan beberapat tetes adrenalin 1/10.000.
Penatalaksanaan pada epistaksis anterior seharusnya mengikuti tiga prinsip utama yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.


BAB  II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Definisi
Epistaksis anterior adalah perdarahan yang berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian depan, yaitu dari pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior.1

Etiologi
Penyebab Epistaksis :
1.      Lokal 
-          Trauma misalnya trauma maksilofasial waktu mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung, terjatuh, terpukul, iritasi oleh gas yang merangsang.
-          Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan mimisan ringan disertai ingus yang berbau busuk.
-          Infeksi, pada hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis.
-          Iatrogenik (pembedahan).
-          Neoplasma pada cavum nasi atau nasofaring, baik jinak maupun ganas.
-          Zat kimia (logam berat seperti merkuri, kromium dan fosfor, asam sulfur, amonia, gasolin, glutaraldehid).
-          Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak (seperti pada penerbang dan penyelam/penyakit caisson) atau lingkungan yang udaranya sangat dingin.
-          Tidak diketahui penyebabnya, biasanya terjadi berulang dan ringan pada anak dan remaja

2.      Gangguan Sistemik
-          Penyakit kardiovaskular
Arteriosklerosis
Hipertensi

-          Gangguan endokrin seperti pada kehamilan, menstruasi dan menopause.
-          Infeksi sistemik : demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
-          Telangiektasia hemoragik herediter (Osler weber rendu disease). Merupakan penyakit autosomal dominan yang ditunjukkan dengan adanya perdarahan berulang karena  anomali pembuluh darah.
-          Kelainan hematologi : hemopilia, leukemia, multiple myeloma, imune trombositopenia purpura (ITP), polisitemia vera.
-          Obat-obatan : NSAID, aspirin, warfarin, agen kemoterapeutik.
-          Defisiensi Vitamin C dan K.2-7

Patofisiologi
Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : a.alveolaris posterior superior, a.palatina desenden ,  a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal dan a. pharyngeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior.1
Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum.1-8
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini.8,9
Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.10,11

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
-          Umur
-          Keadaan umum
-          Tensi dan nadi
-          Trauma
-          Tumor
-          Deviasi septum/spina septum
-          Infeksi
-          Kelainan kongenital
-          Hipertensi
-          Kelainan darah

-          Perubahan tekanan atmosfir mendadak
-          Gangguan endokrin8,12,13,14

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum pasien, apakah sangat lemah ataukah ada tanda-tanda syok, sebagai akibat banyaknya darah yang keluar bila mungkin lakukan pemeriksaan rinoskopi anterior dengan pasien dalam posisi duduk.2.13
Untuk melakukan pemeriksaan yang adekuat, pasien harus ditempatkan pada ketinggian yang memudahkan pemeriksaan bekerja, harus cukup untuk menginspeksi sisi dalam hidung. Sisi anterior hidung harus diperiksa dengan spekulum hidung. Spekulum harus disokong dengan jari telunjuk pada ala nasi. Kemudian pemeriksa menggunakan tangan yang satu lagi untuk mengubah posisi kepala pasien untuk melihat semua bagian hidung. Hidung harus dibersihkan dari bekuan darah dan debris secara memuaskan dengan alat penghisap. Lalu dioleskan senyawa vasokonstriktif topikal seperti efedrin atau kokain untuk mengerutkan mukosa hidung. Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat.2,14
Sumber perdarahan dapat ditentukan dengan memasang tampon yang telah dibasahi dengan larutan pantokain 2% dan beberapa tetes adrenalin 1/1000. setelah beberapa menit tampon diangkat dan bekuan darah dibersihkan dengan alat penghisap.4,5,7

Pemeriksaan Penunjang
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
-          Pemeriksaan darah tepi lengkap.
-          Fungsi hemostatis
-          EKG
-          Tes fungsi hati dan ginjal
-          Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
-          CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.10,12,15

Diagnosis Banding
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak anterior dalam cavitas nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa akibat memasukkan objek (lazim suatu jari tangan). Keadaan kering, terutama musim dingin, akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban, maka membrana hidung menjadi kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat mengelilingi perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran udara hidung abnormal dan bisa timbul perdarahan.2
Pada kelompok usia pediatri, benda asing dan alergi menjadi sebab lazim epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum yang membesar yang muncul dari lantai hidung.11,12
Perdarahan juga dapat  terjadi pada trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang kemudian masuk ke hidung melalui sinus sphenoid atau tuba eustachius.14

Penatalaksanaan
            Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu :
  1. Menghentikan perdarahan
  2. Mencegah komplikasi
  3. Mencegah berulangnya epistaksis 4

  • Terapi simptomatis Umum
-          Tenangkan penderita, jika penderita khawatir perdarahan akan bertambah hebat, sumbat hidung dengan kapas dan cuping hidung dijepit sekitar 10 menit.


-          Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah membatukkan darah dari tenggorokan, menggunakan apron plastik serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pemakainya.
-          Kompres dingin pada daerah tengkuk leher dan juga pangkal hidung.
-          Turunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.
-          Hentikan pemakaian antikoagulan.
-          Pemberian cairan elektrolit pada perdarahan hebat, dan keadaan pasien lemah. 1,2,3,6,7,12

  • Terapi Lokal
-          Buang gumpalan darah dari hidung dan tentukan lokasi perdarahan.
-          Pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri.
-          Setelah perdarahan berhenti, dilakukan penyumbatan sumber perdarahan dengan menyemprotkan larutan perak nitrat 20-30% (atau asam trikloroasetat 10%), atau dengan elektrokauter. Bila terdapat pertemuan pembuluh darah septum anterior dan lokasi perdarahan ditemukan, maka terbaik mengkauterisasi bagian pinggirnya dan tidak benar-benar di pembuluh darah itu sendiri karena kauterisasi langsung pada pembuluh darah tersebut biasanya akan menyebabkan perdarahan kembali. Harus hati-hati agar tidak  membuat luka bakar yang luas dan nekrosis jaringan termasuk kartilago dibawahnya sehingga terjadi perforasi septum nasi.
-          Cara yang paling baik untuk mengontrol epistaksis anterior (setelah dekongesti dan kokainisasi) dengan suntikan 2 ml lidokain 1% di regio foramen incisivum pada dasar hidung. Pengontrolan perdarahan anterior dengan cara ini dapat menghindari masalah perforasi septum, karena elektrokauterisasi diberikan ke tulang dasar hidung dan bukan pada septum.



-          Bila dengan cara tersebut perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi vaselin atau salep antibiotika agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat tampon dilepaskan. Tampon dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran  72 x ½ inci,  dimasukkan melalui lubang hidung depan, dipasang secara berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan sumber perdarahan. Tampon dipasang selama 1-2 hari, sebagian dokter juga melapisi tampon dengan salep antibiotik untuk mengurangi bakteri dan pembentukan bau.
-          Dapat juga digunakan balon intranasal yang dirancang untuk menekan regio septum anterior (pleksus kiesselbach) atau daerah etmoidalis. Cara ini lebih mudah diterima pasien karena lebih nyaman.1,2,7,8,12,14

Medika Mentosa
-          Pada pasien yang dipasang tampon anterior, berikan antibiotik profilaksis.
-          Vasokontriktor topikal : Oxymetazoline 0,05%.
o   Menstimulasi reseptor alfa-adrenergik sehingga terjadi vasokonstriksi.
o   Dosis : 2-3 spray pada lubang hidung setiap 12 jam.
o   Kontraindikasi : hipersensitivitas
o   Hati-hati pada hipertiroid, penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, meningkatkan tekanan intraokular.
-          Anestesi lokal : lidokain 4%
o   Digunakan bersamaan dengan oxymetazoline
o   Menginhibisi depolarisasi, memblok transmisi impuls saraf
o   Kontraindikasi : hipersensitivitas.
      - Salep antibiotik : mopirocin 2% (Bactroban Nasal)
o   menghambat pertumbuhan bakteri.
o   Dosis : 0,5 g pada setiap lubang hidung selama 5 hari.
o   Kontraindikasi : hipersensitivitas.
-          Perak Nitrat
o   Mengkoagulasi protein seluler dan menghancurkan jaringan granulasi.
o   Kontraindikasi : hipersensitivitas, kulit yang terluka.10,11
  • Intervensi radiologi, angiografi dengan embolisasi percabangan arteri karotis intema. Hal ini dilakukan jika epistaksis tidak dapat dihentikan dengan tampon.9
  • Pembedahan
-          Ligasi Arteri
Ligasi arteri etmoid anterior dilakukan bila dengan tampon anterior perdarahan masih terus berlangsung. Ligasi dilakukan dengan membuat sayatan mulai dari bagian medial alis mata,lalu melengkung ke bawah melalui pertengahan antara pangkal hidung dan daerah kantus media. Insisi langsung diteruskan ke tulang, dimana periosteum diangkat dengan hari-hari dan periorbita dilepaskan, lalu bola mata ditarik ke lateral, arteri etmoid anterior merupakan cabang arteri optalmika terletak pada sutura frontomaksilolaksimal. Pembuluh ini dijepit dengan suatu klip hemostatik, atau suatu ligasi tunggal.
-          Septal dermatoplasty pada pasien osler-weber-rendu-syndrome mukosa septum diambil  dan kartilago diganti dengan skin graft.6,7,9

FOLLOW UP
-          Cegah perdarahan ulang dengan menggunakan nasal spray, salep Bactroban nasal
-          Berikan antibiotika oral dan topikal untuk mencegah rinosinusitis
-          Hindari aspirin dan NSAID lainnya
-          Kontrol masalah medis lainnya seperti hipertensi, defesiensi  vitamin k melalui konsultasi dengan ahli spesialis lainnya
-          Edukasi pasien :
·         Hindari cuaca yang panas dan kering
·         Hindari makanan yang pedas dan panas
·         Bernafas dengan mulut terbuka.1


KOMPLIKASI
v  Komplikasi epistaksis :Hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi pneumonia
v  Komplikasi kauterisasi : Sinekia, perforasi septum
v  Komplikasi pemasangan tampon : Sinekia, rinosinusitis, sindrom syok         toksik, Perforasi septum, tuba eustachius tersumbat, aritmia (overdosis kokain atau lidokain )
v  Komplikasi embolisasi : Perdarahan hematom, nyeri wajah, hipersensitivitas, paralisis fasialis, infark miokard.
v  Komplikasi ligasi arteri : kebas pada wajah, sinusitis, sinekia, infark miokard. 6,10,15


PROGNOSIS
      Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresif.1


v  DAFTAR PUSTAKA

1.      Nguoyen, Quoc AMD. Epistaksis. Last Updated : July 5th 2005. Available at : URL : http://www.Emedicine.com Accessed : April 23th  2006

2.      Cody D, Thane R, et.al. Epistaksis, Dalam Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 1991. Hal. 245-50.

3.      Anonymous. Perdarahan Hidung. Last Updated : December. 21st 2005. Available at : URL http://www.medicastore.com. Accessed : April 27th 2006.

4.      Nizar, NW. Mangunkusumo, Endang. Epistaksis. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan Leher. Edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,  2001. Hal. 125-7.
5.      Higler, Peter A. Penyakit Hidung. Dalam : Adam GL, Boies LR, Higler PA Boies : Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC, 1997. Hal . 224-32.


6.      Syamsuhidajat R, Wim de Jong. Epistaksis. Dalam Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC, 2004. Hal . 364-5.

7.      Ruckeinstein Michael J. Rhinology in Comprehensive Review of Otolaryngology. 1st ed. Philadelphia, Elsevies Inc, 2004. Hal. 83-4.

8.      Anias, Christiane R. Otorrhinology. Available at URL : http://www.medstudents.com. Accessed : April 23th 2006.

9.      Anonymous. Epistaxis. Last Updated : March 13th 2005. Available at : URL http://www.ccspublishing.com/journals-epistavis.htm. Accessed : April 23th 2006.

10.  Thompson, Sharon W. Epsitaksis in Emergency Care of Children. Boston : Jones and Barlett Publisher, 1990. Hal . 190-1.

11.  Soudheiner, Judith M. The Nose & Paranasal Sinuses in Hay, Wiiliam W. et.al. Current Pediatric Diagnose and Treatment. 6th Ed. USA : The Mc. Groww Hill Companies Inc, 2003. Hal. 479.

12.  Rifki, Nusjirwan, Mangunkusumo, Endang. Epistaksis. Dalam : Iskandar Nurbaiti. Helmi, Editor : Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat Telinga Hidung Tenggorokan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. Hal. 61-4.


13.  Thaller, Seth R. Gramick, Mark S. Diagram Diagnostik Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC , 1991. Hal. 90-1.

14.  Harold, Ludman. Perdarahan Hidung. Dalam : Petunjuk Penting Pada Penyakti THT. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran Hipokrates, 1996.            Hal. 56-61.

15.  Hazenfield, Hugh N. Nosebleeds (Epistaxis). Available  at URL : http://www.homehawaii.rr.com/dochazenfield/the-nose.htm

Senin, 10 September 2012

Buku Kesan & Pesan Almarhumah Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih


Bisa di Download di : http://www.depkes.go.id/downloads

Selamat Jalan Ibu...Semoga semua kebaikan yang telah ibu lakukan menjadi amal di sana

Selamat Jalan Sejawat

Selamat Jalan Pemegang NPA Perhimpunan Dokter Umum Indonesia 0001




Syndroma Gagal Nafas Akut (ARDS)



ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
 (Syndroma Gagal Nafas Akut)

I.             Pendahuluan
Sejak perang dunia I, banyak pasien tanpa kelainan pada paru, sepsis dan kondisi lainnya menyebabkan terjadinya gagal nafas, infiltrate yang difus pada roentgen paru dan kegagalan pernafasan (terkadang setelah selang waktu beberapa jam ataupun hari) yang ditemukan.(1)
Pada tahun 1967 Ashbaugh dan kawan-kawan mempublikasikan artikel yang menggambarkan karekteristik klinis 12 pasien yang mengalami gagal nafas akut. Tidak satupun dari pasien tersebut yang menderita penyakit saluran nafas sebelumnya. Gagal nafas pada pasien-pasien tersebut ternyata terjadi akibat adanya penyakit serius lainnya, misalnya trauma yang berat, pankreatitis, dan penyalahgunaan obat. Gejala Klinis dan perubahan fisiologis yang terjadi ternyata menyerupai perubahan-perubahan yang terjadi pada neonatus yang mengalami gagal nafas akibat Infant Respiratory Distress Syndrome.(2). Berdasarkan hal itu pada pasien-pasien tersebut diberikan istilah Respiratory Distress Syndrome pada orang dewasa.(2,3) Sejak saat itu terminology tersebut dijadikan terminology yang baku dan disebut sebagai adult respiratory distress syndrome (ARDS)/syndrome gagal nafas pada orang dewasa. Dalam klinik istilah ARDS digunakan untuk pasien-pasien yang mengalami edema paru akut yang tidak disebabkan oleh kelainan jantung.(2)
Sindrom distress respirasi dewasa (ARDS) adalah bentuk khusus kegagalan pernafasan yang ditandai dengan hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi dengan penangganan konvensional. Sindrom ini dikenal dengan banyak nama lainnya (shock lung, wet lung, adult hyaline membrane disease, stiff lung syndrome). Diperkirakan ada 150.000 orang yang menderita ARDS tiap tahunnya, dan tingkat mortalitasnya 50 %.(4)
II.           Definisi
Definisi dari ARDS selalu berganti tiap waktu. Pada awal tahun 1960 Burke dan kawan-kawan menggunakan istilah High Output Respiratory Failure untuk menggambarkan type dari gagal nafas yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk melakukan oksigenasi yang adekuat dan pengeluaran karbondioksida. Hal yang sering digunakan untuk menggambarkan sindroma ini termasuk : pernyakit membrane hialin pada orang dewasa, sindroma insufisiensi pernafasan pada orang dewasa, atelektasis kongesti, sindroma perdarahan paru, Da Nang Lung, stiff-lung sindroma, dan lain sebagainya.(3)
Sindroma gagal nafas adalah gangguan fungsi paru akibat kerusakan alveoli yang difus, ditandai dengan kerusakan sawar membrane kapiler alveoli, sehingga menyebabkan terjadinya edema alveoli yang kaya protein disertai dengan adanya hipoksemia. Kelainan ini umumnya timbul mendadak pada pasien tanpa kelainan paru sebelumnya dan dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan.(2) 

III.          Epidemiologi
          Institusi kesehatan nasional memperkirakan pada tahun 1942 terdapat 150 ribu kasus baru dari ARDS pertahunnya di Amerika Serikat,  dengan insiden sebesar 75 kasus per 100.000/tahun. Insiden ARDS sangat sulit untuk ditentukan keakuratannya karena perubahan dari definisi, kegagalan untuk mendapatkan data yang komplit dan keragu-raguan tentang populasi yang benar. Dari beberapa kemungkinan studi Kohort yang baru-baru ini ditemukan lebih banyak peningkatan kecepatan tingkat insidensi, yaitu berubah dari 1,5–3,5 kasus/100.000/tahun di Pulau Kanari menjadi 4,8–8,3 kasus/100.000/tahun di Negara Utah. Studi lain menemukan insiden 4,5 dan 3,0 per 100.000/tahun di U. Kingdom dan di Berlin.(5)
            Insiden ARDS ini berubah-ubah tergantung dari kriteria diagnosis yang digunakan untuk definisi yang diberikan, sebagai penyakit yang mendasari menjadi suatu faktor resiko. Perkiraan insiden ARDS di Amerika Serikat setiap tahunnya setelah dijumlahkan mendekati 150 ribu kasus baru pertahunnya. Dalam penelitian oleh Fowler dkk insiden ini bervariasi dari 2% (yaitu pada pasien post coronary arteri baypass atau pasien terbakar) menjadi 36% (yaitu pada Gastric broncho aspirasi). Dalam penelitian Kohort yang serupa, Pepe dkk menemukan bahwa insiden ARDS berkisar dari 8% (pada pasien dengan multipel fraktur) menjadi 38% (pada pasien dengan sepsis).(3)

IV.         Etiologi
          ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara langsung maupun tidak langsung.(4) Berdasarkan mekanisme patogenesisnya maka penyakit dasar yang menyebabkan sindrom ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1.    Penyakit yang langsung mengenai paru-paru
Ø  Aspirasi asam lambung
Ø  Tenggelam
Ø  Kontusio paru
Ø  Infeksi paru yang difus
Ø  Inhalasi  gas toksik
Ø  Keracunan oksigen
2.    Penyakit yang tidak langsung mengenai paru-paru
Ø  Sepsis
Ø  Pankreatitis akut
Ø  Trauma multipel
Ø  Penyalahgunaan obat
Ø  Renjatan hipovolemik
Ø  Transfusi berlebihan
Ø  Pasca transplantasi paru
Ø  Pasca operasi pintas jantung-paru. (1,2)

V.          Patogenesis
          Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab bermacam-macam dapat menjadi sindrom klinis dan patofisiologi yang sama.(4) Sindrom gagal nafas pada orang dewasa selalu berhubungan dengan dengan penambahan cairan dalam paru dan merupakan suatu edema paru yang berbeda dengan edema paru akibat kelainan jantung oleh karena tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Mula-mula terjadi kerusakan membran kapiler alveoli, kemudian terjadi peningkatan permeabilitas endotel kapiler paru dan epitel alveoli yang menyebabkan edema alveoli dan interstitial.(2)
            Penyelidikan dengan mikroskop elektron menunjukkan pembatas udara-darah terdiri dari pneumosit tipe I (sel-sel penyokong) dan pneumosti tipe II (sumber surfaktan) bersama-sama dengan membran basalis dari sisi alveolar; pembatas tersebut bersinggungan dengan membran basalis kapiler dan sel-sel endotel.  Selain  itu alveolus juga memiliki sel-sel jaringan pengikat yang bekerja sebagai pembantu dan pengatur volume. Membran kapiler alveolar dalam keadaan normal tidak mudah ditembus partikel-partikel. Tetapi dengan adanya cedera, maka terjadi perubahan pada permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui cairan, sel darah merah dan protein darah. Mula-mula cairan akan berkumpul pada interstitium dan jika melebihi kapasitas interstitium, cairan akan berkumpul di rongga alveoli , sehingga mengakibatkan ateletaksis kongestif.(4)
            Mekanisme yang pasti kerusakan endotel pada sindrome gagal nafas pada orang dewasa belum diketahui, walaupun telah dibuktikan adanya peran beberapa sitokin. Adanya faktor pencetus misalnya toksin kuman akan merangsang neutrofil dan makrofag untuk memproduksi TNF dan IL-1. Sitokin ini selanjutnya akan menyebabkan adhesi neutrofil dan merangsang makrofag untuk kembali memproduksi TNF dan IL-1 serta mediator toksik lainnya oksigen radikal bebas, protease, metabolit arakidonat, dan platelet activating factor. Adhesi granulosit neutrofil selanjutnya akan merusak sel endotel dengan cara melepaskan protease sehingga dapat menghancurkan struktur protein seperti kolagen, elastin, fibronektin, serta menyebabkan proteolisis plasma dalam sirkulasi. Beberapa hal yang menyokong peran granulosit dalam proses timbulnya sindrom gagal nafas adalah adanya granulositopenia yang berat pada binatang percobaan yang disebabkan berkumpulnya granulosit dalam paru-paru.
            Pada keadaan normal, paru mempunyai mekanisme proteksi untuk melindungi sel-sel parenkim paru karena adanya antiprotease dan antioksidan dalam bentuk glutation. Pada sindrom gagal nafas ini didapatkan adanya defisiensi glugation serta hambatan aktivitas antiprotease. Biopsi paru pasien sindrom gagal nafas pada orang dewasa menunjukkan adanya pengumpulan granulosit secara tidak normal teraktivasi tersebut akan melepaskan enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase dan juga oksigen radikal yang dapat menghambat aktivitas antiprotease paru.(2)

VI.         Patofisiologi
            Dasar kelainan dari ARDS adalah kerusakan pada pertahanan alveolar – capillary. Selain itu fakta saat ini terjadinya ARDS tidak sesederhana berasal dari edema pulmonal akibat peningkatan permeabilitas microvaskular, tetapi mempunyai manifestasi yang lebih menyeluruh dari kerusakan permeabilitas.(3)
            Peningkatan permiabilitas kapiler akan menyebabkan cairan merembes ke jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru, paru menjadi kaku dan kelenturan paru (complience) menurun. Kapasitas sisa fungsional juga menurun.
            Hipoksemia yang berat merupakan gejala penting sindrom gagal nafas pada orang dewasa. Penyebab utama hipoksemia pada sindrom gagal nafas ini adalah adanya pirau aliran darah paru intrapulmonal masif. Pada keadaan normal pirau intrapulmonal ini didapatkan dalam presentase yang kecil dari curah jantung total. Pada sindrom gagal nafas ini pirau tersebut meningkat hingga 25-50% dari curah jantung total dan hal ini terjadi karena adanya perfusi yang persisten pada alveoli yang kolaps/alveoli yang terisi cairan. Akibat darah yang mengalir dari arteri pulmonalis tidak dapat terpajan dengan udara dalam alveoli dan tidak terjadi pertukaran gas sehingga menyebabkan terjadi ketidakseimbangan antara ventilasi-perfusi.(2)

VII.       Gejala Klinis
          Manifestasi klinis sindrom gagal nafas akut bervariasi tergantung dari penyebab. Penyebab yang paling penting adalah sepsis oleh kuman gram negatif, trauma berat, operasi besar, trauma kardiovaskuler, pneumonia karena virus influenza dan kelebihan dosis narkotik. Yang khas adalah adanya masa laten antara timbulnya faktor predisposisi dengan timbulnya gejala klinis sindrom gagal nafas selama sekitar 18-24 jam. Gejala klinis yang paling menonjol adalah sesak napas,(2) napas cepat, batuk kering, ketidaknyamanan retrosternal dan gelisah. Pasien yang memiliki keadaan yang lebih berat dari gagal nafas bisa terjadi sianosis.(3)
            Pada saluran nafas orang dewasa didapatkan trias gejala yang penting yaitu hipoksia, hipotensi dan hiperventilasi. Pada tahap  berikutnya sesak nafas bertambah, sianosis menjadi lebih berat dan mudah tersinggung.(2)

VIII.     Diagnosis
          Menurut fakta sampai sekarang belum ada cara penilaian yang spesifik dan sensitive terhadap kerusakan endotel/epitel, diagnosis ARDS ditegakkan dengan kriteria phisiologi, namun hal ini masih kontroversi. Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium dan gambaran radiologi mungkin berguna.(3)
            Pada tahap dini ARDS, pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak ditemukan kelainan, tetapi kemudian didapatkan adanya krepitasi yang meluas pada lapangan paru dalam waktu yang singkat. Pemeriksaan laboratorium yang paling dini menunjukkan kelainan dalam analisis gas darah berupa hipoksemia, kemudian hiperkapnia dengan asidosis respiratorik pada tahap akhir.(2)
            Mula-mula tidak ada kelainan jelas pada foto dada. Setelah 12-24 jam tampak infiltrat tanpa batas-batas yang tegas pada seluruh lapangan paru, mirip dengan edema paru pada gagal jantung tetapi tanpa tanda-tanda pembesaran jantung dan tanda bendungan lainnya. Infiltrat tersebut biasanya meluas dengan cepat dan simetris dalam beberapa jam/hari sehingga mengenai seluruh lapangan paru tetapi kedua sinus kostofrenikus masih tetap normal (bilateral white-out). Infiltrat dapat juga bertambah secara lambat dan asimetris.(2,3)
            Biasanya perbaikan foto dada pada ARDS lambat, sedangkan pada edema paru oleh gagal jantung, infiltratnya cepat menghilang dengan pemberian diuretik.(2)
            Pada pemeriksaan laboratorium, hasil analisa gas darah abnormal. Rasio PaO2 terhadap fraksi O2 yang dihirup (FiO2) menurun dibawah 200. Awalnya terdapat alkalosis respirasi yang kemudian dalam perjalanan penyakit menjadi asidosis respiratorik karena eliminasi CO2 menurun. Leukositosis atau leukopenia, anemia, trombositopenia. Jarang terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC) yang dapat terjadi pada keadaan sepsis, trauma berat atau trauma kepala.(6)
Gambaran radiology
Acute Respiratory Distress Syndrome

IX.         Diagnosa Banding
          Diagnosa banding dari ARDS adalah penyakit-panyakit yang berhubungan dengan terbentuknya infiltrat pada di paru seperti gagal jantung kongestif, infeksi paru yang luas.(6)

X.          Penatalaksanaan
          Mortalitas sindrom gagal napas pada orang dewasa tinggi yaitu mencapai 50% dan tidak tergantung pada pengobatan yang diberikan. Karena itu pencegahan terhadap timbulnya ARDS sangat penting dan faktor-faktor predisposisi seperti sepsis, peneumoni aspirasi dan pengenalan diri terhadap ARDS perlu diperhatikan dengan baik. Pengobatan dalam masa laten lebih mungkin berhasil daripada sudah timbul gejala sindrom gagal nafas.
            Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiologinya berbeda yaitu mengembangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri untuk oksigenasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam basa dan sirkulasi dari tingkat yang dapat ditoleransi sampai membran alveoli utuh kembali. Pemberian cairan harus hati-hati, terutama kalau sindroma gagal nafas disertai kelainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan permeabilitas kapiler paru, cairan dari sirkulasi merembes ke jaringan interstitial dan memperberat edema paru. Cairan diberikan cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung yang tidak cepat, ekstremitas hangat dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau memperberat edema paru.
            Pemberian albumin tidak terbukti efektif pada ARDS, sebab pada kelainan permeabilitas yang luas albumin akan ikut masuk ke ruang ekstravaskular.
            Secara umum obat-obat yang diberikan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
1.    Obat untuk menekan proses inflamasi
Ø  Kortikosteroid
      Saat ini efek steroid masih dalam penelitian dan penggunaan secara  rutin tidak dianjurkan kecuali bila ada indikasi yang spesifik yang berkaitan dengan penyakit dasarnya. Steroid dapat mengurangi pembentukan kolagen dan meningkatkan penghancuran kolagen sehingga penggunaannya mungkin bermanfaat untuk mencegah fibrosis paru pada pasien yang bertahan hidup. Kortikosteroid biasanya diberikan dalam dosis besar, lebih disukai metilprednisolon 30 mg/kg berat badan secara intravena setiap 6 jam.
Ø  Protaglandin E1
      Obat ini mempunyai efek vasodilator dan antiinflamasi serta antiagregasi trombosit. Sebanyak 95% PGE1 akan dimetabolisme di paru sehingga bersifat selektif terhadap pembuluh darah paru dengan efek sistemik yang minimal. Pemberian secara aerosol dilaporkan dapat memperbaiki proses ventilasi perfusi karena menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada daerah paru yang ventilasinya masih baik. Walaupun demikian penggunaan PGE1 dalam klinis masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Ø  Kotekonazol
      Dapat menghambat sintesis tromboksan dan leukotrien dan pada sejumlah kecil kasus dapat bermanfaat untuk pencegahan pada pasien yang mengalami sepsis akibat trauma multipel.
Ø  Anti endotoksin dan antisitokinin
      Antibodi terhadap endotoksin dan sitokin akhir-akhir ini sedang diteliti. Sejauh ini penggunaan secara rutin obat-obat ini masih belum dianjurkan.
2.    Obat untuk memperbaiki kelainan faal paru :
Ø  Amil nitrit
      Dapat diberikan intravena untuk memperbaiki proses ventilasi – perfusi dengan cara meningkatkan refleks pembuluh darah paru akibat hipoksia. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek tersebut.
Ø  Oksida nitrit
      Pemberian secara inhalasi dalam dosis rendah akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah paru secara selektif khususnya pada daerah paru dengan ventilasi yang masih baik. efek oksida nitrit ini diharapkan dapat mengurangi pirau intrapulmonal, memperbaiki proses ventilasi-perfusi sehingga akan meningkatkan oksigen arteri pulmonalis. Sayangnya hingga saat ini belum ada data yang menunjukkan prognosis pada pasien yang mendapatkan oksida nitrit
Ø  Antibiotik
      Karena angka kejadian sepsis tinggi pada pasien yang mengalami ARDS maka dianjurkan untuk diberikan sejak awal antibiotik yang berspektrum luas, hingga didapatkan adanya sumber infeksi yang jelas serta adanya hasil kultur.
            Ventilasi mekanis dilakukan kalau timbul hiperkapnia, kalau pasien lelah dan tidak dapat lagi mengatasi beban kerja nafas atau timbulnya renjatan. Tujuan ventilasi mekanis adalah mengurangi kerja nafas, memperbaiki oksigenasi arterial, dengan pemakaian O2 yang non toksik.(2)
            Pemberian tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) dengan respirator volume merupakan langkah besar dalam penanganan ARDS. PEEP membantu memperbaiki sindrom distress pernafasan dengan mengembangkan daerah yang sebelumnya mengalami ateletaksis dari kapiler. Keuntungan lain dari PEEP adalah alat ini memungkinkan pasien untuk mendapatkan FiO2 dalam konsentrasi yang lebih rendah. Hal ini penting karena pada satu segi FiO2 yang tinggi umumnya diperlukan untuk mencapai PaO2 dalam kadar minimal, dan pada segi lain oksigen konsentrasi tinggi  bersifat toksik terhadap paru-paru dan menyebabkan ARDS. Efek dari PEEP adalah memperbaiki tekanan oksigen arterial dan memungkinkan penurunan FiO2. Bahaya yang mungkin terjadi dalam penggunaan PEEP adalah pneumothoraks dan terganggunya curah jantung karena tekanan yang tinggi. Perhatian dan pemantauan yang ketat ditujukan untuk mencapai “PEEP terbaik” – yaitu ventilasi pada tekanan akhir ekspirasi yang menghasilkan daya kembang paru terbaik dan penurunan PaO2 dan curah jantung yang minimal.
            Karena penimbunan cairan pada paru-paru merupakan masalah, maka pembatasan cairan dan terapi diuretik merupakan tindakan lain yang penting dalam penanganan ARDS. Antibiotik yang tepat diberikan  untuk mengatasi infeksi. Meskipun penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, tetapi banyak pusat kesehatan menggunakan kortikosteroid dalam penanganan ARDS walaupun manfaatnya masih belum jelas diketahui.(4)

XI.         Komplikasi
          Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru, hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.(2)

XII.       Prognosis
          Mortalitas rata-rata sekitar 50-60%. Mortalitas sekitar 40% didapatkan pada pasien dengan gagal nafas saja, sedangkan pada pasien dengan sepsis atau adanya kegagalan organ utama didapatkan mortalitas sekitar 70-80% dan bahkan bisa sampai 90% kalau sindrom gagal nafas amat berat. Pada pasien yang bertahan hidup, umumnya fungsi paru akan kembali setelah berbulan-bulan, namun harapan tersebut sangat kecil karena pasien yang menderita ARDS akan mengalami kerusakan paru yang permanen dengan infeksi dan fibrosis.(2)


XIII.     Kesimpulan
1.    ARDS sudah ditemukan sejak perang dunia I, dan mulai dikenal pada tahun 1967 ketika Ausbagh dan kawan-kawan mempublikasikan artikel tentang 12 pasien yang mengalami gagal nafas tanpa disertai penyakit pada parunya.
2.    Sindroma gagal nafas adalah gangguan fungsi paru akibat kerusakan alveoli yang difus, ditandai dengan kerusakan sawar membrane kapiler alveoli, sehingga menyebabkan terjadinya edema alveoli yang kaya protein disertai dengan adanya hipoksemia. Kelainan ini umumnya timbul mendadak pada pasien tanpa kelainan paru sebelumnya dan dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
3.    Institusi kesehatan nasional memperkirakan pada tahun 1942 terdapat 150 ribu kasus baru dari ARDS pertahunnya di Amerika Serikat,  dengan insiden sebesar 75 kasus per 100.000/tahun. Insiden ARDS sangat sulit untuk ditentukan keakuratannya karena perubahan dari definisi, kegagalan untuk mendapatkan data yang komplit dan keragu-raguan tentang populasi yang benar.
4.    ARDS dapat disebabkan oleh penyakit yang langsung mengenai paru-paru maupun oleh penyakit yang tidak ada hubungan dengan paru.
5.    Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab bermacam-macam dapat menjadi sindrom klinis dan patofisiologi yang sama. ARDS selalu berhubungan dengan dengan penambahan cairan dalam paru dan merupakan suatu edema paru yang berbeda dengan edema paru akibat kelainan jantung.
6.    Gejala klinis ARDS yang paling menonjol adalah sesak napas, napas cepat, batuk kering, ketidaknyamanan retrosternal dan gelisah. Pasien yang memiliki keadaan yang lebih berat dari gagal nafas bisa terjadi sianosis.
7.    Menurut fakta sampai sekarang belum ada cara penilaian yang spesifik dan sensitive terhadap kerusakan endotel/epitel, diagnosis ARDS ditegakkan dengan criteria phisiologi, namun hal ini masih kontroversi. Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium dan gambaran radiologi mungking berguna.
8.    Diagnosa banding dari ARDS adalah penyakit-panyakit yang berhubungan dengan terbentuknya infiltrat pada di paru seperti gagal jantung kongestif, infeksi paru yang luas.
9.    Penalaksanaan dari ARDS bertujuan mengembangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri untuk oksigenasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam basa dan sirkulasi dari tingkat yang dapat ditoleransi sampai membran alveoli utuh kembali.
10. Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru, hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.
11. Prognosis ARDS tergantung dari luasnya kerusakan yang ditimbulkan pada parenkim paru.



DAFTAR PUSTAKA

1.    Eloise M. Harman,MD. Rajat, Walia, MD. 2005. Acute Respiratory Distress Syndrome. http://www.emedicine.com/med/topic70.htm
2.    Aryanto Suwondo, Ishak Yusuf, Cleopas Martin Lumende, 2001. Sindrome Gagal Nafas Pada Orang Dewasa dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi Ketiga. Hal : 907-914
3.    Josep Varon,MD, F.A.C.A, F.A.C.P, Oliver C Wenker,MD, D.E.A.A. 1997, The Acute Respiratory Distress Syndrome : Myths and Controversies. http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlPrinter=true&xmlFilePath=journals/ijeicm/vol1n1/ards.xml
4.    Sylia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 1995, Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Hal : 739-740
5.    Mark J D Griffiths dan Timothy W Evans, 2003, Acute Respiratory Distress Syndrome dalam Respiratori Medicine, volume I Edisi 3, RDC Group LTD.
6.    Hood Alsagaf, M. Jusuf Wibisono, Winariani, 2004, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR –RSU Dr. Sutomo, Surabaya. Hal : 186-189.