Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria
I.
Pendahuluan
Urtikaria adalah kelainan kulit yang
ditandai dengan peninggian kulit yang timbul mendadak dan/atau disertai
angiodema; ukurannya bervariasi, biasanya dikelilingi eritema, terasa gatal
atau sensasi terbakar, umumnya menghilang dalam 1-24 jam. Angioedema terjadi
akibat edema lapisan dermis bagian bawah dan jaringan subkutan, biasanya lebih
dirasakan sebagai sensasi nyeri, dan menghilang setelah 72 jam.1
Urtikaria dapat diklasifikasikan
berdasarkan durasi dan faktor pencetus. Berdasarkan durasi, urtikaria dapat
diklasifikasikan menjadi urtikaria akut (<6 minggu) dan urtikaria kronis
(>6 minggu).1 Urtikaria harus dibedakan dengan kondisi atau penyakit lain
yang menimbulkan peninggian kulit atau angioedema, seperti tes tusuk kulit,
reaksi anafilaksis, sindrom autoinflamasi, dan hereditary angioedema.2
Urtikaria mempunyai dampak cukup
signifikan terhadap kualitas hidup penderitanya, meskipun sering dianggap
ringan.
II.
Epidemiologi
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar
antara 0,3-11,3% tergantung populasi yang diteliti.1 Prevalensi
hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin meningkat di Australia.3
Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak usia 0-4 tahun.3
Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai pada usia
5-34 tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggipada usia >65
tahun.3 Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60
tahun (usia rata-rata 40 tahun).4
Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum
diketahui pasti. Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19
tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%.5 Sebanyak
8-20% populasi diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam
perjalanan hidupnya dan sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria kronis
spontan.1,6
Prevalensi urtikaria kronis lebih kecil
dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa dan berkisar antara
0,1-0,3% pada anak.7 Prevalensi urtikaria kronis pada dewasa
berdasarkan durasinya adalah: 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan (18,5%), 7-12
bulan (9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%).4
III.
Klasifikasi
Urtikaria dapat diklasifikasikan
berdasarkan durasi dan faktor yang menginduksi (induced vs spontaneus).
Berdasarkan durasi, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronis.
Urtikaria akut terjadi <6 minggu, apabila >6 minggu disebut sebagai
urtikaria kronis. Klasifikasi berdasarkan durasi penting untuk mengetahui
patogenesis dan menentukan terapi. Klasifikasi berdasarkan faktor pencetus,
dapat dilihat di tabel 1.1
Tabel 1. Klasifikasi urtikaria
berdasarkan ada tidaknya faktor pencetus1
Tipe
|
Subtipe
|
Definisi
|
Urtikaria spontan
|
Urtikaria spontan akut
|
Tidak ada faktor pencetus, < 6 minggu
|
Urtikaria spontan kronis
|
Tidak ada faktor pencetus, < 6 minggu
|
|
Urtikaria fisik
|
Urtikaria kontak dingin
|
Faktor pencetus: benda yang dingin/udara/cairan/angin
|
Urtikaria kontak panas
|
Faktor pencetus: panas yang terlokalisir
|
|
Urtikaria dermografik/urticaria factitita
|
Faktor pencetus: tekanan atau goresan mekanis (timbul
setelah 1-5 menit)
|
|
Urtikaria solar
|
Faktor pencetus sinar UV dan/atau visible light
|
|
Delayed pressure urtikaria
|
Faktor pencetus : tekanan vertikal (timbul setelah 3-12
jam)
|
|
Urtikaria vibratori
|
Faktor pencetus getaran
|
|
Urtikaria tipe lain
|
Urtikaria aquagenik
|
Faktor pencetus air
|
Urtikaria kolinergik
|
Faktor pencetus peningkatan suhu tubuh akibat olahraga
atau makanan pedas
|
|
Urtikaria kontak
|
Faktor pencetus kontak dengan bahan yang menyebabkan
urtikaria
|
|
Urtikaria yang diinduksi olahraga
|
Faktor pencetus olahraga
|
IV.
Gejala Klinis
Urtikaria ditandai dengan timbulnya
peninggian pada kulit dan/atau angioedema secara mendadak. Peninggian kulit
pada urtikaria harus memenuhi kriteria di bawah ini:
1. Ditemukan edema
sentral dengan ukuran bervariasi, dan bisa disertai eritema di sekitarnya
2. Terasa gatal atau
kadang-kadang sensasiterbakar
3. Umumnya dapat
hilang dalam 1-24 jam, ada yang < 1 jam.
Angioedema ditandai dengan karakteristik berikut:
1. Edema dermis
bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul mendadak, dapat berwarna
kemerahan ataupun warna lain, sering disertai edema membran mukosa.
2. Lebih sering
dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal, dapat menghilang setelah 72
jam.
Gambar 1.
Urtikaria pada lengan (A),
Angioderma pada mata (B).8
V.
Patogenesis
Urtikaria adalah penyakit yang
diperantarai sel mast. Sel mast yang teraktivasi akan mengeluarkan histamin dan
mediator lain seperti platelet activating factor (PAF) dan sitokin. Terlepasnya
mediator-mediator ini akan menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi,
ekstravasasi plasma, serta migrasi sel-sel inflamasi lain ke lesi urtikaria.
Pada kulit yang terkena, dapat ditemukan berbagai jenis sel inflamasi, antara
lain eosinofil dan/atau neutrofil, makrofag, dan sel T.9
Banyak teori etiologi urtikaria, sampai
sekarang belum ada yang bisa dibuktikan. Beberapa teori antara lain:
1. Faktor
psikosomatis
Dulu urtikaria kronis spontan dianggap
disebabkan oleh gangguan cemas, ada beberapa data bahwa gangguan cemas akan
memperburuk penyakitnya.10 Saat ini dapat disimpulkan bahwa kelainan
mental (seperti depresi dan kecemasan) akan mempengaruhi kualitas hidup pasien,
tetapi bukan penyebab urtikaria.1
2. Alergi makanan
tipe 1
Hubungan antara alergi makanan dan
urtikaria kronis masih diperdebatkan. Beberapa ahli tidak menganjurkan
eliminasi diet pada pasien urtikaria, tetapi sebagian menemukan perbaikan pada
1/3 pasien urtikaria kronis spontan yang melakukan diet eliminasi.11
3. Autoreaktivitas
dan autoimun
Degranulasi sel mast akan menyebabkan
infiltrasi granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil), sel T, dan monosit
yang akan menyebabkan urtikaria.12 Jika serum pasien diinjeksikan
intradermal ke kulit pasien sendiri, dapat ditemukan infiltrasi sel-sel
inflamasi yang pada akhirnya menyebabkan urtikaria, disebut autoreaktivitas,
yang ditemukan ± pada 30% pasien.1 Selain autoreaktivitas, dapat
juga ditemukan reaksi autoimun. Pada awalnya, hanya ditemukan adanya IgG
terhadap subunit α reseptor IgE pada 5-10% pasien, tetapi berangsur-angsur IgG
ini makin banyak ditemukan pada 30-40% pasien urtikaria. IgG akan terikat pada
IgE reseptor mengaktivasi jalur komplemen klasik (dilepaskannya C5a), basofil,
dan sel mast. Meskipun demikian, adanya antibodi ini tidak membuktikan hubungan
kausalitas.1
4. Peran IgE
Terapi dengan anti-IgE (omalizumab)
memberikan hasil yang baik.13 Oleh karena itu, salah satu etiologi
urtikaria dianggap berhubungan dengan IgE.1
VI.
Diagnosis
Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin; tes diagnostik lanjutan dilakukan jika
perlu.11 Tujuan diagnosis adalah menentukan tipe dan subtipe
urtikaria serta mengidentifikasi etiologi.1
Urtikaria akut lebih sering dijumpai dan
biasanya cepat menghilang, tetapi identifikasi etiologi penting untuk mencegah
kekambuhan. Etiologi urtikaria akut sebagian besar dapat diketahui melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, jarang dibutuhkan pemeriksaan
penunjang. Pada anak, etiologi yang sering adalah infeksi virus dan infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan dan obat-obatan, seperti antibiotik dan
NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drug), dapat sebagai penyebab pada anak
ataupun dewasa. Tes diagnostik hanya diindikasikan apabila dicurigai didasari
oleh alergi tipe I.1
Urtikaria kronis mempunyai lebih banyak
etiologi dan subtipe, sehingga selain anamnesis dan pemeriksaan fisik
menyeluruh, dibutuhkan tes diagnostik rutin; antara lain darah lengkap, fungsi
hati, laju endap darah (LED), dan kadar C-reactive protein (CRP). Tes
diagnostik lanjutan dipertimbangkan pada urtikaria kronis berat dan persisten
untuk identifikasi faktor pencetus dan menyingkirkan diagnosis banding.
Anamnesis penting untuk menegakkan
diagnosis, meliputi hal-hal seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Pertanyaan terkait urtikaria
No
|
Pertanyaan
|
1.
|
Onset
|
2.
|
Frekuensi dan
durasi
|
3.
|
Variasi diurnal
|
4.
|
Korelasi dengan
riwayat perjalanan, liburan atau akhir minggu
|
5.
|
Bentuk, ukuran
dan distribusi lesi
|
6.
|
Ada/tidaknya
angioedema
|
7.
|
Keluhan,
misalnya gatal atau nyeri
|
8.
|
Riwayat
urtikaria atau atopi, riwayat pada keluarga
|
9.
|
Riwayat alergi,
infeksi, atau penyakit sistemik yang sedang atau pernah di derita.
|
10.
|
Penyakit
psikosomatis atau psikiatri
|
11.
|
Operasi implan
|
12.
|
Gangguan
pencernaan (lambung/usus)
|
13.
|
Induksi oleh
Agen fisik atau aktifitas fisik
|
14.
|
Penggunaan
obat-obatan (NSAIDs, injeksi imunisasi, hormon, laksatif, supositoria, tetes
telinga atau mata, dan obat herbal)
|
15.
|
Korelasi dengan
makanan
|
16.
|
Korelasi dengan
siklus menstruasi
|
17.
|
Kebiasaan
merokok
|
18.
|
Pekerjaan
|
19.
|
Hobi
|
20.
|
Stress
|
21.
|
Kualitas hidup
pasien terkait urtikaria dan efek emosional
|
22.
|
Riwayat
pengobatan dan respon pengobatan
|
Urtikaria, terutama tipe kronis, dapat
mengganggu kualitas hidup. Salah satu kriteria penilaian kualitas hidup adalah
Urticaria activity score (Tabel 3).
Tabel 3. Urticaria activity score14
Skor
|
Urtika
|
Gatal
|
0.
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
1.
|
Ringan (< 20 urtika/24 jam)
|
Ringan (ada rasa gatal tetapi tidak mengganggu)
|
2.
|
Sedang (20-50 urtika/24 jam)
|
Sedang (rasa gatal yang mengganggu, tetapi tidak
mempengaruhi tidur atau aktifitas sehari-hari)
|
3.
|
Berat (> 50 urtika/24 jam atau urtika yang
berkonfluens pada 1 area luas)
|
Berat (rasa gatal yang hebat, mengganggu dan
mempengaruhi tidur atau aktifitas sehari-hari)
|
Tes dermografisme untuk diagnosis
urtikaria dermografik. Tes diagnostik rutin dan lanjutan dapat dilihat pada
(tabel 4).
Tipe
|
Subtipe
|
Tes diagnostik rutin
|
Tes diagnostik lanjutan
|
Urtikaria spontan
|
Urtikaria spontan akut
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Urtikaria spontan kronis
|
Darah lengkap, LED/CRP
|
Tes untuk: (i) penyakit infeksi
(misalnya Helicobacter pylori);
(ii) alergi tipe I; (iii) autoantibodi
fungsional; (iv) hormon tiroid
&
autoantibodi; (v) skin tests
termasuk tes fisik; (vi) diet bebas
pseudoalergen selama 3 minggu &
triptase; (vii) biopsi lesi kulit dan
skin
test serum autologus
|
|
Urtikaria fisik
|
Urtikaria kontak dingin
|
Tes provokasi terhadap dingin & tes
ambang batas
|
Darah lengkap, LED atau CRP
untuk menyingkirkan penyakit lain,
terutama infeksi
|
Urtikaria kontak panas
|
Tes provokasi terhadap panas & tes
ambang batas
|
Tidak ada
|
|
Urtikaria dermografik/
urticaria factitia
|
Tes dermografisme
|
Darah lengkap, LED/CRP
|
|
Urtikaria solar
|
Sinar UV atau visible light dengan
panjang gelombang yang berbeda
|
Bedakan dengan dermatosis akibat
cahaya yang lain
|
|
Delayed pressure
Urticaria
|
Pressure test (0,2-1,5kg/cm2
selama
10-20 menit)
|
Tidak ada
|
|
Urtikaria tipe lain
|
Urtikaria aquagenik
|
Tempelkan kain basah dengan suhu
sesuai suhu badan selama 20 menit
|
Tidak ada
|
Urtikaria kolinergik
|
Olahraga dan provokasi dengan
mandi air panas
|
Tidak ada
|
|
Urtikaria kontak
|
Uji tusuk atau tempel yang dibaca
setelah 20 menit
|
Tidak ada
|
|
Urtikaria yang diinduksi
olahraga
|
Berdasarkan adanya riwayat
olahraga, bisa disertai tidak dengan
makan sebelumnya, tetapi tidak
setelah mandi air panas
|
Tidak ada
|
VII. Tatalaksana
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada pedoman terapi untuk urtikaria.
Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi EEACI (European Academy of
Allergy and Clinical Immunology) / GA2LEN (the Global Allergy and Asthma
European Network) / EDF (the European Dermatology Forum) / WAO (World Allergy
Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology and
Venereology) untuk urtikaria kronis di Asia pada tahun 2010.15
Tabel 5. Manajemen urtikaria menurut guideline EAACI/GA2LEN/EDF/
WAO10
Sub tipe
|
Terapi
|
Terapi alternatif
|
Urtikaria akut spontan
|
Antihistamin-Hl nonsedatif
|
Prednisolone 2x20 mg/hari
selama 4 hari
|
Antihistamin-Hl nonsedatif
|
Prednisolone 50 mg/hari
selama 3 hari; antihistamin-H2 dosis tunggal
selama 5 hari
|
|
Tingkatkan dosis sampai
4x
(apabila tidak membaik
setelah 2 minggu)
|
Kombinasi antihistamin H-l non-sedatif
dengan antihistamin-H2
(Cimetidine).
Monoterapi: Antidepresan trisiklik (doxepin),
Ketotifen, Hydroxychloroquine,
Dapsone, Sulfasalazine, Methotrexate, Kortikosteroid
Pilihan terapi lain
Terapi kombinasi: Antihistamin-Hl
non-sedatif dan Stanazolol
Antihistamin-Hl non-sedatif dan
Zafirhikast Antihistamin-Hl non-sedatif
dan Mikofenolat mofetil Antihistamin-Hl
non-sedatif dan narrowband
UV-B Antihistamin-Hl non-sedatif dan
Omalizumab
Monoterapi: Oxatomide,
Nifedipin, Warfarin, Interferon, Plasmafaresis
Imunoglobulin, Injeksi whole blood autologus
|
|
Urtikaria fisik
|
Menghindari stimulus
|
-
|
U r t i k a r i a
dermografisme
simptomatis
|
Antihistarnin-Hl nonsedatif
|
Ketotifen; narrowband UV-B
|
Delayed pressure
Urticaria
|
Antihistamin-Hl nonsedatif
(cetirizine)
|
Terapi kombinasi:
Montelukast dan antihistamin-Hl
non-sedatif (Loratadine)
Monoterapi: Prednisolone 20-40mg
Pilihan terapi lain
Terapi kombinasi: Ketotifen dan nimesulide
Monoterapi: Klobetasol propionat topikal, Sulfasalazine
|
Urtikaria dingin
|
Antihistamin-Hl nonsedatif
Tingkatkan dosis sampai
4x lipat
|
Dicoba dengan penicillin i.m/p.o
atau doksisiklin p.o
Induksi toleransi fisik
Pilihan terapi lain
Cyproheptadine, Ketotifen, Montelukast
|
Urtikaria solar
|
Antihistamin-Hl nonsedatif
|
Induksi toleransi fisik
Pilihan terapi lain
Plasmafaresis - PUVA, fotofaresis,
pertukaran plasma, IVIGs, Omalizumab
|
Urtikaria kolinergik
|
Antihistamin-Hl nonsedatif
Tingkatkan dosis sampai
4x lipat bila perlu
|
Exercise tolerance”
Pilihan terapi lain
Ketotifen, Danazol Omalizumab
|
Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama,
yaitu:16
1.
Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus
2.
Terapi simptomatis
a.
Identifikasi dan
Eliminasi Faktor Penyebab / Pencetus
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang menyeluruh dan
tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor diduga penyebab,
faktor ini baru bisa disimpulkan sebagai penyebab jika terjadi kekambuhan
setelah tes provokasi.16
b.
Terapi
Simptomatis
Tujuan utama terapi adalah menghilangkan keluhan. Panduan terapi menurut
EEACI/ GA2LEN/EDF/WAO dapat dilihat pada gambar 2.14
1.
Antihistamin1
Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine, bilastine,
cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine, levocetirizine, loratadine,
mizolastine, dan rupatadine) memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan
dapat ditoleransi dengan baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini
pertama. Apabila keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif
selama 2 minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan sampai 4
kali lipat dosis awal yang diberikan (gambar2).
Antihistamin generasi pertama sudah jarang digunakan, hanya
direkomendasikan sebagai terapi tambahan urtikaria kronis yang tidak terkontrol
dengan antihistamin generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya
diberikan dosis tunggal malam hari karena mempunyai efek sedatif.
Gambar 2. Algoritme terapi urtikaria15
2.
Antagonis H2
Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1
pada urtikaria kronis. Meskipun efikasinya rendah, beberapa ahli berpendapat
bisa diberikan sebelum terapi lini kedua.1
3.
Antagonis reseptor leukotrien
Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat rekomendasinya
rendah. Dari beberapa penelitian, disimpulkan bahwa terapi ini hanya bermanfaat
pada urtikaria kronis spontan yang berhubungan dengan aspirin atau food
additives, tetapi tidak bermanfaat pada urtikaria kronis lain.16 Terapi
ini dapat dicoba pada pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.
4.
Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut urtikaria
kronis.14 Belum ada konsensus yang mengatur pemberian
kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah yang memberikan efek dalam
periode singkat.18 Salah satu kortikosteroid yang disarankan adalah
prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg setiap minggu.1
5.
Agen anti inflamasi
Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat dipertimbangkan
karena harganya terjangkau dan efek sampingnya minimal, antara lain menggunakan
dapson, sulfasalazine, hidroksiklorokuin,dan kolkisin.1
6.
Imunosupressan
Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor kalsineurin
(siklosporin). Imunosupresan lain (azatioprin, metotreksat, siklofosfamid, dan
mikofenolat mofetil) dapat dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak
merespons antihistamin generasi pertama.1
7.
Agen biologis
Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah omalizumab. Omalizumab
dianggap bisa menjadi obat pilihan beberapa tahun lagi, tetapi mahal dan efek
samping jangka panjang masih belum diketahui.1
8.
Plasmaferesis
Plasmaferesis pernah berhasil dilakukan pada beberapa pasien urtikaria
kronik yang terjadi sepanjang waktu. Pada kasus tersebut didapatkan adanya
bukti-bukti autoantibodi yang dapat mencetuskan pelepasan histamin.19
VIII. Prognosis
Prognosis urtikaria akut umumnya baik,
bisa hilang dalam 24 jam. Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan
kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran napas bagian atas. Pada
anak-anak, 20-30% urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan
angka hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun.1,3
Prognosis urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan,
20% dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5 tahun.1
IX.
Kesimpulan
Urtikaria adalah kelainan kulit yang banyak dijumpai, jarang berbahaya,
umumnya menghilang sendiri. Urtikaria berdasarkan durasi dibedakan menjadi
urtikaria akut (<6 minggu) dan urtikaria kronis (>6 minggu). Berdasarkan
ada/tidaknya faktor pencetus, dibedakan menjadi urtikaria spontan, urtikaria
yang disebabkan agen fisik, dan urtikaria tipe lain.
Diagnostik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin, dan
tes diagnostik lanjutan apabila diperlukan. Tatalaksana meliputi identifikasi
serta eliminasi faktor penyebab dan terapi simptomatis. Prognosis urtikaria
akut pada umumnya baik, sedangkan urtikaria kronis prognosisnya bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Borges MS, Asero R, Ansotegui IJ,
Baiardini I, Bernstein JA, Canonica GW, et al. Diagnosis and treatment of
urticaria and angioedema: A worldwide perspective. WAO Journal [Internet]. 2012
;5:125-47. Available from: http://waojournal.biomedcentral.com/articles/10.1097/WOX.0b013e3182758d6c
2. Zuberbier T, Aberer W, Asero R,
Bindslev-Jensen C, Brzoza Z, Canonica GW, et al. The EAACI/GA2LEN/EDF/WAO
guideline for the definition, classification, diagnosis, and management of
urticaria: The 2013 revision and update. European Journal of Allergy and
Clinical Immunology [Internet]. 2013
3. Poulos LM, Waters AM, Correll PK, Loblay
RH, Marks GB. Trends in hospitalizations for anaphylaxis, angioedema and
urticaria in Australia, 1993-1994 to 2004-2005. J Allergy Clin Immunol.
2007;120(4):878-84.
4. Gaig P, Olona M, Muñoz Lejarazu D,
Caballero MT, Domínguez FJ, Echechipia S, et al. Epidemiology of urticaria in
spain. J Investig Allergol Clin Immunol. 2004;14(3):214-20.
5. Tjekyan S. Prevalensi urtikaria di kota
palembang tahun 2007 (the prevalence of urticaria in palembang 2007). Jurnal
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 2012;20(1):1-6
6. Greaves M. Chronic urticaria. J Allergy
Clin Immunol. 2000;105:664-72
7. Greenberger PA. Chronic urticaria: New
management options. WAO Journal [Internet]. 2014 Available from: http://www.waojournal.org/content/7/1/31
8. Kaplan AP. Urticaria and angioedema:
Synopsis [Internet]. 2014 Available from:http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/urticaria/urticariasynopsis.php
9. Ito Y, Satoh T, Takayama K, Miyagishi C,
Walls AF, Yokozeki H. Basophil recruitment and activation in inflammatory skin
diseases. Allergy. 2011;66(8):1107-13. doi: 10.1111/j.1398-9995.2011.02570.x.
10. Maurer M, Weller K, Bindslev-Jensen C,
Giménez-Arnau A, Bousquet PJ, Bousquet J, et al. Umnet clinical needs in
chronic spontaneous urticaria: A Galen task force report. Allergy.
2011;66(3):317-30. doi: 10.1111/j.1398-9995.2010.02496.x.
11. Magerl M, Pisarevskaja D, Scheufele R,
Zuberbier T, Maurer M. Effects of a pseudoallergen diet on chronic spontaneous
urticaria: A prospective trial. Allergy. 2010;65(1):78-83. doi:
10.1111/j.1398-9995.2009.02130.x.
12. Ying S, Kikuchi Y, Meng Q, Kay AB, Kaplan
AP. Th1/Th2 cytokines and inflammatory cells in skin biopsy specimens from
patients with chronic idiopathic urticaria: Comparison with the
allergen-induced late-phase cutaneous reaction. J Allergy Clin Immunol.
2002;109:694-700
13. Eckman JA, Sterba PM, Kelly D, Alexander
V, Liu MC, Bochner BS, et al. Effects of omalizumab on basophil and mast cell
responses using an intranasal cat allergen challenge. J Allergy Clin Immunol.
2010;125:889-95
14. Zuberbier T. A summary of the new
international EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guidelines in urticaria. WAO Journal
[Internet]. 2012
15. Asian Academy of Dermatology and
Venerology. AADV asian consensus guideline for management of chronic urticaria:
Special Proceedings from the 19th RCD [Internet]. 2010 Oct. Available from: http://asianderm.org/download/AADV_booklet01.pdf
16. Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C,
Walter Canonica G, Church MK, Giménez-Arnau AM, et al. EAACI/GA2LEN/EDF/WAO
guideline: Management of urticaria. Allergy [Internet]. 2009 [cited 2016 May
14];64:1427-43. Available from: www.ga2len.net/464D9d01.pdf
17. Reimers A, Pichler C, Helbling A, Pichler
WJ, Yawalkar N. Zafirlukast has no beneficial effects in the treatment of
chronic urticaria. Clin Exp Allergy. 2002;32:1763-8
18. Asero R, Tedeschi A. Usefulness of a
short course of oral prednisone in antihistamine-resistant chronic urticaria: A
retrospective analysis. J Invest Allergol Clin Immunol. 2010;20:386-90.
19. Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul
effendi, et all, Urtikaria dan Angioedema, dalam buku Ajar Ilmu penyakit Dalam,
Interna Publishing, 2014, 495 – 503.