Label

Kamis, 16 Februari 2012

BRONKIOLITIS


I.                  PENDAHULUAN
Bronkiolitis akut adalah infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan gejala utama akibat peradangan bronkioli yang terutama disebabkan oleh virus.(1) Sering mengenai anak usia dibawah satu tahun dengan insiden tertinggi umur 6 bulan, (2,3) Bronkiolitis akut yang terjadi dibawah umur satu tahun kira-kira 12 % dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua lebih jarang lagi, yaitu sekitar setengahnya. Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi saluran pernafasan bawah terbanyak pada anak. Penyebab yang paling banyak adalah virus Respiratory  Syncytial, kira-kira 45 – 55 % dari total kasus. Sedangkan virus lain seperti Parainfluenza, Rhinovirus, Adenovirus dan Enterovirus sekitar 20%.(2)
Bakteri dan Mikoplasma sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi.(2,4) Belum ada bukti bahwa bakteri sebagai penyebab bronkiolitis.(1,4) Sekitar 70 % kasus bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga harus dirawat dirumah sakit, sedangkan sisanya dirawat dipoliklinik. Sebagian besar infeksi saluran nafas ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi primer oleh virus RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak tahun-tahun pertama kehidupan akan bermanifestasi berat.(2)
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis dinegara-negara berkembang hampir sama dengan di Amerika Serikat. Insiden terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di negara-negara tropis.(4)
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Keadaan tersebut harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma akan memberikan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai enfisema obstruktif dan gagal jantung.(3)
Bronkiolitis virus dapat menyebabkan infeksi pernafasan berat pada masa kanak-kanak. Walaupun demikian pada kondisi yang terbatas seringkali tidak memerlukan pengobatan. Pada jumlah yang sedikit anak yang mendapatkan pengobatan penanganan utama termasuk pemberian oksigen dan cairan yang adekuat dan pengawasan hati-hati untuk mendeteksi sebagian anak yang mungkin memerlukan intervensi lebih.(5)
Infeksi oleh respiratory syncitial virus (RSV) memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada anak dengan resiko tinggi dan imunokompromise. Oleh karena itu langkah preventif dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan pasif. Saat ini juga sedang dikembangkan vaksin virus. Usaha untuk mengembangkan vaksin virus hidup yang dilemahkan (attenuated live viral vaccines) mengalami hambatan karena imunogenositas yang rendah dan kecenderungan virus untuk berubah kembali menjadi tipe liar.(6)
Bronkhiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini karena antibodi neutralizing dari ibu masih tinggi pada 4 – 6 minggu kehidupan, kemudian akan menurun. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi saluran nafas bawah, terutama terhadap virus.(2)
Prognosis dari bronkiolitis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penangangan dan penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun dan prematuritas).(1)

II.                DEFINISI
Bronkhiolitis adalah penyakit IRA – bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.(1,2,4) yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun.(3,7,8) angka kejadian tertinggi rata-rata ditemukan pada usia 6 bulan(2,3) secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan whezing.(4,8) bronkhiolitis bisa disertai dengan superinfeksi bakteri.(1)


III.             ETIOLOGI
Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus(RSV) (1,3,4,7),  penyebab lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa virus lainnya.(1,3,7) tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri.(1,4)
Pada tahun 1957 Chanock dan Finberg mengisolasi RSV dari 2 orang anak yang menderita penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Beem dan rekan kerjanya pada tahun 1960 mengidentifikasi virus tersebut mula-mula diisolasi dari simpanse dan disebut dengan chimpanze coryza agent  pada anak belia usia dibawah 2 tahun dengan penyakit saluran pernafasan bawah. Sesudah itu RSV ditemukan sebagai agen penyebab pada sebagian besar kasus anak dengan bronkhiolitis baik sebelumnya maupun saat ini. Human metapneumovirus sekarang menjadi penyebab 8 % dari bronkhiolitis, dimana sebelumnya RSV ditemukan negatif. Infeksi oleh virus lainnya terutama rhinovirus, adenovirus, semua tipe parainfluenza virus, enterovirus dan influenza virus telah diringkas oleh Hall dan Hall.(8)

IV.             EPIDEMIOLOGI
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75 % diantaranya terjadi pada anak dibawah usia 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3 – 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup dilingkungan padat penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan; sedangkan Fjaerli menyebutkan 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.(4)
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS. Insiden terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim hujan di negara-negara tropis.(4,9)
Di RSU Dr. Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu. RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari. Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei.(10)
Pada tahun 2005 pada pola rawat jalan umur < 1 tahun di rumah sakit Pemerintah Provinsi NAD didapatkan angka 355 kasus atau sekitar 8,62 % kasus bronkhitis dan bronkiolitis akut. Pada usia 1 - 4 tahun kasus yang sama didapatkan angka 544 atau 12 %, usia 5 – 14 tahun 578 kasus atau 9,74 %, usia 15 – 24 tahun 789 kasus atau 10.8 %, usia 25 – 44 tahun 566 kasus atau 7,6 %, usia 45 – 64 tahun 388 kasus atau 9,5 %, usia > 65 tahun 558 kasus atau 10.8 %.(11)
Rerata insidens perawatan  setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000 dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1 – 2 tahun. Lama perawatan adalah 2 – 4 hari, kecuali pada bayi prematur dan kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi muda. Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2 juga pada bayi yang terpapar asap rokok pasca natal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi < 34 minggu, usia < 3 bulan, sianosis, saturasi < 90 %, laju respiratori > 70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat displasia bronkopulmoner (bronchopulmonary displasia, BPD).
Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu perubahan kriteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih banyak anak yang dititipkan ditempat penitipan anak (TPA), dan faktor virus sendiri yaitu perubahan virulensi strain RSV. Selain itu terdapat juga faktor perubahan kriteria diagnostik terutama mikrobiologis dan panduan terapi serta turunya mortalitas bayi prematur dan bayi dengan kelainan bawaan kompleks yang merupakan resiko tinggi perawatan karena RSV.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1 – 3 %.(4)

V.                PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus.(8,10)
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkus menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa.(4) Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran pernafasan, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar.(2,4,8) terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran pernafasan yang kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air traping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi total.(4)
Anatomi Pernafasan Manusia


Saluran Pernafasan Anak

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt.(8)

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebaban ketidakseimbangan ventilasi – perfusi, yang berikutnya akan menyebabkan hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Resistensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi,  kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju pernafasan, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernafasan akan meningkat selama end – expiratory lung volume meningkat dan compliance paru  menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit.(4)
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari .(4,10) Jaringan mati akan dibersihkan oleh makrofag.(4) Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.(10)

VI.             KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi.(2,3,10)
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.(2,10) Ronkhi nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir inspirasi atau pada permulaan ekspirasi.(2,3) Pada keadaan yang berat sekali suara pernafasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hamper total.(3) Ekspirasi memanjang dan mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas.(2)
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernafasan/respiratory rate (RR), usaha nafas, beratnya wheezing dan oksigenasi.
Skala klinis yang digunakan Abul – Ainine dan Luyt adalah :
1.      Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan diambil rata-ratanya.
2.      Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
3.      Saturasi O2 : dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
4.      Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell dkk.
5.      Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan menangis).
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut :
1.      Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)
2.      Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat)
3.      Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik).(4)

Atas dasar frekuensi nafas dan keadaan umum bronkiolitis dibagi menjadi : bronkiolitis ringan dan bronkiolitis berat (R ≥ 60 x/ menit).(1)
Berdasarkan gejala klinis, bronkiolitis juga dibagi menjadi bronkiolitis ringan, sedang, berat dengan tanda sebagai berikut(5,12) :
Tabel 1.
Klasifikasi Bronkiolitis berdasarkan gejala klinis
Bronkiolitis
Ringan
Sedang
Berat
-       Kemampuan untuk makan normal
-       Sedikit atau tidak ada gangguan pernafasan
-       Tidak kebutuhan akan oksigen tambahan (saturasi O2 > 95 %
-        Gangguan pernafasan sedang dengan beberapa kontraksi dinding dada dan nafas cuping hidung
-        Hipoksemia ringan dan dapat dikoreksi dengan oksigen
-        Mungkin menampakkan pernafasan yang pendek ketika makan
-        Mungkin memiliki episode apnoe yang singkat
-          Tidak dapat untuk makan
-          Gangguan pernafasan berat, dengan retraksi dinding dada yang jelas, nafas cuping hidung dan dengkuran.
-          Hipoksemia yang tidak terkoreksi dengan oksigen tambahan
-          Mungkin terdapat peningkatan frekuensi atau episode apnoe yang panjang.
-          Mungkin menampakkan peningkatan kelelahan.

VII.          DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya,(4) berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat.(10)

7.1.  Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi saluran nafas atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan demam.(4) yang mengenai anak usia maksimal 24 bulan yang lebih banyak terkena adalah usia dibawah 12 bulan.(7) Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak nafas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, merintih, nafas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan.(1,4,7) Adanya riwayat kontak dengan penderita infeksi saluran pernafasan atas.(13)
Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.(10)
7.2.  Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu diatas 38,5 0C  dan bisa mencapai suhu 41 0C. Selain itu dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan faringitis, dan otitis media.(4,7)
Obstruksi saluran respiratori – bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernafasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu.(4,7) Selain itu ditemukan pernafasan yang pendek dan saturasi O2 yang rendah dan tanda dehidrasi.(13)
7.3.  Pemeriksaan Penunjang
7.3.1.      Laboratorium
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal demikian pula dengan elektrolit. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.(4,10) Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan pernafasan berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala kelelahan dan hipoksia.(4,7) Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.(10)
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection test (direct immunofluoresence assay dan enzyme – linked immunosorbant assay. ELISA). Atau polimerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer antibody pada  fase akut dan konvalesens.(4)
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus.(10)

7.3.2.      Radiologi
Foto Thorak diindikasikan pada :
-          Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih
-          Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga
-          Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.(7)
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, atau pneumonia (patchy infiltrates). Tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran ateletaksis terutama saat konvalesens akibat secret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter anteroposterior.(4,6,10)  
Bronchiolitis Obliterans X-ray imaging

Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.(10)
Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis perlu memperhatikan manifestasi klinis yang dapat menyerupai penyakit lain, epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun.(4,6)

VIII.       DIAGNOSIS BANDING
Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan manifestasi klinis yang dapat menyerupai penyakit lain. Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma bronkiale serangan pertama, bronkhitis, gagal jantung kongestif, edema paru, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, miokarditis, pneumothorak, pertussis.(1,4,5,9,10)

IX.             PENATALAKSANAAN
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSV monoclonal antibody (palvizumad).(2,4)
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus.(10)
Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara klinis stabil, oksigenasi baik dan hidrasi baik. Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan akut bronkiolitis adalah :
-            Pengawasan yang hati-hati terhadap status klinis
-            Pemantauan saluran nafas (melalui penempatan posisi, pengisapan dan pembersihan cairan).
-            Pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat
-            Edukasi orang tua.(13)
-            Untuk mendukung pasien anak
-            Untuk mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul
-            Untuk mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai
-            Untuk pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat indikasi.(8)
Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit :
-          Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan
-          Apnoe
-          Ketidakmampuan untuk makan
-          Keadaan sosial khusus
-          Hypoxemia
-          Pasien dengan kondisi dasar medis.(7)
Pengobatan Suportif
A.    Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung paru dan jika ada indikasi dilakukan pemasanag pulse oxymetri.(7,13)
B.     Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-paru.(2) Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika saturasi oksigen menetap dibawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas 94%.(13) Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia.(2,8) gunakan nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m); masker muka atau kotak kepala.


Jika mungkin gunakan oksigen yang dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distress berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan permintaan untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator.(5,8)

C.     Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akiba keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu > 38,5  0C). Cara pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan.(2,5,7) Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.(5)

Pengobatan Medikamentosa
A.    Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah obat antivirus yang bersifat virus statik. Tetapi, penggunaan obat ini masih kontroversial mengenai efektivitas dan keamanannya. The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan penyakitnya menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi premature. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau dosis kecil dengan 2 jam 3 x/hari.(2,4)
B.     Bronkodilator
Peran bronkodilator sampai saat ini masih kontroversial.(2,4,8) Secara umum jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6 bulan.(5) bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.(3)
Bronkodilator digunakan secara luas untuk bayi dengan bronkiolitis, yaitu sekitar 68-96% bayi dipusat pelayanan pediatrik tersier di Kanada. Pada survey yang dilakukan pada 88 pusat pelayanan pediatrik di Eropa, 54 pusat pelayanan melaporkan penggunaan bronkodilator pada semua pasien dengan bronkiolitis, dan 15 pusat pelayanan melaporkan hanya menggunakan bronkodilator pada pasien dengan resiko tinggi. Di Inggris dan Australia, penggunaan bronkodilator lebih jarang.
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-adrenergik.
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik selektif adalah :
-          Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation perfusing matching.
-          Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik
-          Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
-          Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema
-          Mengurangi sekresi kataral.
Beta – agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.(4)

C.     Kortikosteroid
Tentang pemberian kortikosteroid masih belum ada keseragaman.(3) masing-masing negara melakukan pemberian kortikosteroid disesuaikan dengan masing-masing Panduan Nasional maupun konsensus yang berdasarkan bukti.(4) Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5 hari. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan tergantung dari studi penelitian. Sedangkan untuk penanganan pasien pada intensive care unit dengan bronkiolitis berat pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid inhalasi (budesonide & Fluticasone) sangat sedikit evidence based yang merekomendasikan.(7)

D.    Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder dan diberikan antibiotik spektrum luas.(2,3,6,12) Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut.(2) Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.(1)
           
Pengobatan Intensive Care Unit
Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika :
-          Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada kelompok yang beresiko.
-          Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau adanya frekuensi pernafasan pendek lebih dari 15 detik.
-          Saturasi oksigen rendah yang menetap
-          Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan gangguan pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO2 < 80 mmHg; pCO2 > 50 mmHg; pH < 7,25.(5,12)

Tabel 2.
Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala(12)
Bronkiolitis
Ringan
Sedang
Berat
-       Tidak memerlukan penilaian lebih lanjut
-       Perawatan dirumah, jika orang tua pasien mampu dan sudah dijelaskan serta mempunyai kendaraan.
-       Berobat ulang ke dokter setelah 2 – 3 hari kemudian

-        Perawatan di rumah sakit
-        Berikan oksigen sehingga saturasi oksigen > 93 %
-        Pertimbangkan pemberian cairan intravena
-        Pengamatan seksama terhadap perburukan kondisi
-        Foto thorak
-        Aspirasi nasopharyngeal untuk virus imunoflurorecency dan kultur
-          Perawatan di rumah sakit
-          Pemberian oksigen sampai saturasi oksigen > 95 %
-          Pengamatan seksama untuk antisipasi kemungkinan memerlukan intubasi dan pemakaian ventilator
-          Berikan cairan intravena
-          Monitor system cardiorespiratori
-          Foto thorak
-          Aspirasi nasopharyngeal untuk virus imunoflurorecency dan kultur
-          Pertimbangkan pengawasan gas pembuluh darah arteri
-          Pertimbangkan untuk konsultasi perawatan ICU anak.

Kriteria Pulang
Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :
-          Status pernafasan
o   Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda klinis usaha pernafasan lebih
o   Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan alat sedot gelembung.
o   Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi yang stabil.
o   Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan.(5)
-          Status nutrisi
o   Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi
-          Sosial
o   Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah
o   Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah
o   Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap
-          Peninjauan lebih lanjut
o   Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus melukakan visit terakhir.
o   Pemberi pertolongan utama harus memberikan persetujuan untuk pemulangan
o     Janji untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.(13)

Edukasi Keluarga
Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan memberitahukan :
-          Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
-          Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap gelembung.
-          Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika didapatkan gangguan pernafasan
-          Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan, dll.(9,13)

X.                KOMPLIKASI
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyakit sebelumnya.  Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap, dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial.(1,8) Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterial dan gagal jantung jarang dijumpai.(3) Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang menjadi asma. Suau studi kohort prospektif menemukan bahwa 23 % bayi dengan riwayat bronkhiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1 % pada kelompok kontrol.(4)

XI.             PENCEGAHAN
Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang mengandung titer antibodi protektif tinggi, (respigrama). Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan, diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan < 35 minggu dan bayi dengan displasia bronchopulmonari. Produk lain adalah antibodi kelas IgA monoklonal yang diberikan melalui tetes hidung setiap hari dan antibodi kelas IgG monoklonal yang diberikan secara intramuscular setiap bulan.(6)
Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan (augmentation) antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara pemberian dari luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung neutralizing antibody titer tinggi atau monoklonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap protein F yang disebut dengan Palizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskular setiap hari, lama perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Akan tetapi resiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan penyakit jantung sianotik.(4)
Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live attenuated. Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged mutan, efektif untuk orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari permukaan glikoprotein murni, dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live – attenuated mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan sistemik.(4)
Selain itu dilakukan pencegahan penyebaran silang dari virus RSV. RSV menyebar melalui hidung/muka ke tangan atau muka dari individu lain, sehingga perlu dilakukan prosedur cuci tangan yang baik terhadap perawat, pegawai maupun orang tua pasien untuk meminimalisir masalah tersebut. Dan hindari perawatan pasien anak dengan bronkiolitis (RSV positif atau sedang menunggu hasil) dengan anak-anak yang mempunyai resiko tinggi tertular RSV.(5)

XII.          PROGNOSIS
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas).(1)
Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48 – 72 jam. Mortalitas kurang dari 1 %. Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang makan-minum.(3)
Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkhiolitis mempunyai kecendrungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hipereaktifitas bronkhial yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik para RSV positif, maupun RSV negatif.
Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecendrungan asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma pada anak dari kelompok pengobatan.(4)

XIII.       KESIMPULAN
1.        Bronkhiolitis adalah penyakit IRA – bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun.
2.        Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus(RSV), penyebab lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa virus lainnya. tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri.
3.        Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan. Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
4.        Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu.
5.        Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan whezing.
6.        Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat
7.        Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma bronkiale serangan pertama, bronkhitis, gagal jantung kongestif, edema paru, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, miokarditis, pneumothorak, pertussis
8.        Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu baru pemberian medikamentosa
9.        Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyakit sebelumnya.  Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap, dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial.
10.    Pencegahan dengan imunisasi aktif dan pasif serta menghindari penyebaran virus RSV
11.    Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas).

DAFTAR PUSTAKA
1.      Herry Garna, Prof, dr. Sp.A(K), Ph.D, Heda Melinda D. Nataprawira, dr. Sp.A(K), Bronkhiolitis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi Ke -3, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rs. Dr. Hasan Sadikin Bandung, 2005. Hal : 400-402
2.      Edi Hartoyo dan Roni Naning, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/ Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Mengi Berulang Setelah Bronkhiolitis Akut Akibat Infeksi Virus.
3.      Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Bronkiolitis Akut dalam Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan FKUI, 1985, hal : 1233-1235
4.      Magdalena Sidharta Zain, Bronkhiolitis dalam Buku Ajar Respirology Anak, Edisi Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit IDAI, 2008
5.      NSW HEALTH, Acut Management of Infant and Children with Acute Bronchiolitis. Revision December 2006 www.health.nsw.gov.au
6.      Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bronkiolitis dalam Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Edisi I, Badan Penerbit IDAI, 2005. Hal : 348 - 350
7.      A Tam, SY Lam, et all. Clinical Guideline on The Management pf Acute Bronchiolitis, Hongkong Journal Pediatric (New Series) 2006; 11; 235 – 241.
8.      Mary Ellen B, Wohl, MD. Bronchiolitis in Kendig’s Disorder of The Respiratory Tract in Children. Seventh Edition, Elsevier Inc, 2006 page : 423 – 431.
9.      Mark Louden, MD, FACEP. Pediatric Bronchiolitis. Update 1 November 2007  http://www.emedicine.com/emerg/topic365.htm
10.  Administrator, Tata Laksana Bronkhiolitis, Desember 2007,
11.  Departemen Kesehatan RI, Profil Kesehatan Provinsi NAD tahun 2005 . www.depkes.go.id/downloads/profil/NAD05/profil_dinkes05baru.pdf
12.  Dominic A Fitzgerald and Henry A Kilham, Bronchiolitis : Assesment and Evidence - Based Management. MJA volume 180, 19 April 2004, Page : 399 – 404.
13.  Chris Bolling, MD, et all. Evidence Based Clinical Practice Guideline For Medical Management of Bronchiolitis in Infants less than 1 years of age presenting with a first time episode. Cincinati Children’s Hospital Medical Center. 2006. www.cincinatichildrens.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar