Label

Kamis, 16 Februari 2012

DIABETES MELITUS DAN KESEHATAN MULUT


I.             PENDAHULUAN
Diabetes adalah penyakit metabolik kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel menggunakan glukosa akibat kurangnya produksi atau tidak adekuatnya insulin dari sel Beta pankreas. Diabetes Melitus disebut juga The Great Imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. (1,6)
Umum diketahui bahwa penderita diabetes rata-rata mempunyai gangguan kesehatan gigi. Hal ini diperkuat dengan studi penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan penderita kerusakan gigi kronis bisa menjadi pengidap penyakit diabetes mellitus tipe 2. Pada kerusakan gigi yang parah, bakteri dapat masuk ke aliran darah dan mengganggu sistem kekebalan tubuh. Sel sistem kekebalan tubuh yang rusak melepaskan sejenis protein yang disebut cytokines. Cytokines inilah penyebab kerusakan sel pankreas penghasil insulin, hormon yang memicu diabetes
Penemuan peneliti AS ini diumumkan saat simposium National Institute of Dental and Craniofacial Research di Maryland. Dr. Anthony Iacopino, ahli gigi di Marquette University School of Density, Wisconsin mengatakan bahwa di dalam pankreas, sel yang bertanggung jawab sebagai penghasil insulin dirusak oleh kandungan cytokines yang tinggi. Jika ini terjadi sekali saja, maka seseorang berpeluang menderita diabetes tipe 2, walaupun orang itu sebelumnya dalam keadaan sehat. (2)
Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli dari Kuwait (Journal of Periodontology) pada November 2005 dilaporkan bahwa satu dari lima orang penderita penyakit gusi (ginggiva) mengalami diabetes tipe 2. Sementara itu dokter gigi dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia, drg Zaura Rini Matram menambahkan, dalam pertemuan tahunan "American Association for the Advancement of Science" pada 1999 diungkapkan bahwa sakit gigi dan gusi dapat mengakibatkan penderita diabetes semakin parah, sebab penyakit itu telah memicu tidak terkontrolnya kadar gula darah.(3)
Pada penderita diabetes copotnya gigi sulit dicegah, gusi akan mudah bengkak dan berdarah (4), mulut mudah berbau (4,5), baunya khas seperti bau aseton(5), serta gigi gampang goyah dan tanggal. Selain itu, terlalu lama mengonsumsi obat diabetes yang tidak terkontrol juga mengakibatkan jaringan gusi membesar.(4)
Juru bicara British Dental Association (BDA) mengatakan bahwa segala yang terjadi pada tubuh manusia selalu bisa dihubungkan dengan penyakit gangguan gigi. Maka bukan tak mungkin bahwa diabetes hanya salah satu gangguan kesehatan yang ada hubungannya dengan penyakit gigi. Ia juga menyarankan agar setiap orang membiasakan menggosok gigi dua kali sehari dengan pasta gigi flouride serta mengunjungi dokter gigi secara reguler.(2)


II.          DIABETES MELITUS
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi  beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain  aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, dan retinopati. Sedikitnya setengah dari populasi penderita diabetes lanjut usia tidak mengetahui kalau mereka menderita diabetes karena  hal itu dianggap merupakan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pertambahan usia.(6)
Diabetes merupakan penyakit metabolisme yang rumit yang ditandai dengan hipofungsi atau ketiadaan fungsi pulau-pulau Langerhan pankreas, dengan akibat peningkatan kadar glukosa darah dan ekskresi gula melalui urin.(7) Ada dua tipe diabetes Mellitus :
1.      Insulin – Dependent Diabetes Mellitus (IDDM/Tipe I)
2.      Non Insulin – Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM/Tipe II).(6,7)
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri. Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah  menjadi meningkat.(6)
Tabel 1. Karakteristik diabetes melitus tipe I dan tipe II
                                                  
DM TIPE I
DM TIPE II
§  Mudah terjadi ketoasidosis                   
§  Pengobatan harus dengan insulin

§  Onset akut
§  Biasanya kurus
§  Biasanya terjadi pada umur yang      masih muda
§  Berhubungan dengan HLA-DR3
            dan DR4
§  Didapatkan antibodi sel islet
§  10%nya ada riwayat diabetes  pada keluarga
§  30-50 % kembar identik terkena

                 
§  Sukar terjadi ketoasidosis
§    Pengobatan tidak harus dengan
       insulin
§    Onset  lambat
§    Gemuk atau tidak gemuk
§    Biasanya terjadi pada umur > 45   
      tahun
§  Tidak berhubungan dengan HLA

§  Tidak ada antibodi sel islet
§  30%nya ada riwayat diabetes pada
      keluarga
§  ± 100% kembar identik terkena
Sumber : Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA Pembangunan. PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002
Kriteria diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985:
a.       Kadar glukosa darah sewaktu  (plasma vena) ≥ 200mg/ dl, atau
b.      Kadar glukosa darah puasa       (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau
c.       Kadar glukosa plasma ≥  200 mg / dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
      pada TTGO
Menurut Kane et al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan.(6)
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM

Kadar glukosa (mg/dl )
Bukan DM
Belum pasti
DM
DM
Sewaktu
Plasma Vena
< 110
110 – 199
≥ 200
Darah Kapiler
< 90
90 – 199
≥ 200
Puasa
Plasma Vena
< 110
110 – 125
≥126
Darah Kapiler
< 90
90 – 109
≥110
Sumber : Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA Pembangunan. PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002
Diabetes bukan suatu penyakit yang dapat diobati, pengobatan yang dilakukan mempunyai 4 tujuan :
Ø  Untuk menormalkan tingkat kadar glukosa darah
Ø  Untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi gejala
Ø  Untuk memelihara berat badan ideal
Ø  Untuk mencegah dan mengurangi komplikasi kronis
Dokter gigi harus familiar dengan obat-obatan yang digunakan pada penderita diabeteas; daftar obat diabetes yang secara umum digunakan adalah : agen hipoglikemik oral meliputi sulfonil urea (meningkatkan sekresi insulin, biguanides (mengurangi produksi glukosa hati), penghambat alfa-glukosidase ( memperlambat absorpsi glukosa) dan thiazolidinediones (meningkatkan sensitivitas insulin). Insulin bisa digunakan dalam formula short-acting (1 – 1,5 jam), regular – acting ( 4  – 6 jam), intermediate – acting ( 8 – 12 jam) dan long – acting (24 – 36 jam). (8)

III.       PREVALENSI DAN INSIDEN DIABETES
Pada tahun 1999, Pusat Statistik Kesehatan National melaporkan lebih dari 10 juta orang Amerika yang hidup dengan diabetes (tersebar antara orang kulit putih, hitam, Hispanic dan ras lainnya). Pada tahun 1997, diperkirakan 124 juta orang didunia hidup dengan diabetes. Pada tahun 2010 jumlah orang dengan diabetes di dunia diperkirakan sebanyak 221 juta dan di beberapa bagian tertentu di dunia (seperti Asia dan Africa) peningkatan penderita diabetes akan meningkat menjadi 2 atau 3 kali lipat.(8)
Di Indonesia saat ini Penyakit Diabetes Mellitus (DM) belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan. Prevalensi DM di Indonesia sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia > dari 15 tahun meningkat menjadi 5,6 % pada tahun 1993. Di Jakarta Prevalensi DM meningkat ari 1,7 % pada tahun 1982 menjadi 5,7 % pada tahun 1993. DM dapat menyerang warga segala lapisan umur dan sosial ekonomi, sebagian besar DM adalah tipe 2 yang terjadi lebih dari 90% biasanya pada usia 40 tahun ke atas.(9)


IV.       GEJALA DAN TANDA DI MULUT PADA PENDERITA DIABETES
1.      Gingivitis dan Periodontitis
Periodontitis merupakan salah satu penyakit   terpenting jaringan penyangga gigi yang paling luas  penyebarannya dalam masyarakat. Penyakit pada jaringan periodontal yang bersifat khronis dapat  menyebabkan kerusakan pada serabut periodontal.  Penyakit periotodontal yang berlanjut dapat menyebabkan hilangnya jaringan penyangga gigi, yang dapat menyebabkan gigi goyah.
Keadaan adanya Diabetes Melitus merupakan suatu tanda meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dimana DM merupakan faktor predisposisi penting terhadap timbulnya infeksi. Di dalam mulut DM dapat meningkatkan jumlah bakteri sehingga menyebabkan adanya kelainan jaringan periodontal. Pada penderita DM tipe 2 dengan hiperlipidemi dijumpai adanya inflamasi gingival yang parah dan hilangnya perlekatan pada jaringan periodontal. Berkembangnya penyakit periodontal dengan DM mengakibatkan kerusakan pada jaringan periodontal lebih parah sehingga gigi menjadi goyah dan akhirnya lepas.(9) Gusi membengkak sehingga gigi tampak keluar ( modot).(6)
Pada penderita diabetes copotnya gigi sulit dicegah, gusi akan mudah bengkak dan berdarah (4), mulut mudah berbau (4,5), baunya khas seperti bau aseton(5), serta gigi gampang goyah dan tanggal. Selain itu, terlalu lama mengonsumsi obat diabetes yang tidak terkontrol juga mengakibatkan jaringan gusi membesar.(4)
Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa DM dapat menyebabkan kegoyahan yang didahului adanya penyakit pada jaringan periodontal. Overview dari bukti penelitian tentang hal ini telah dipublikasikan pada tahun 1994, dimana diteliti 1426 orang berusia antara 25-74 tahun secara cross sectional, menemukan bahwa DM merupakan penyakit sistemik yang berhubungan  dengan kegoyahan gigi dengan OR: 2,32, 95% CI: 1,70 – 4,60. Dari data cross sectional, pada penelitian 72 orang penderita DM kasus baru dan 82 orang penderita DM kasus lama, serta 77 orang sebagai kontrol yang berusia 40--49 tahun, dengan matching umur dan jenis kelamin, diketahui bahwa penyakit periodontal (periodontitis) lebih banyak pada penderita DM dibandingkan dengan kontrol, dan pada penderita DM kasus lama lebih banyak daripada kasus baru. Pada penelitian cross sectional dan longitudinal, diketahui bahwa pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal yang lebih parah dan hilangnya gigi dibandingkan dengan DM yang terkontrol dan yang tidak menderita DM.(9)
Dalam sebuah penelitian prevalensi penyakit periodontal 9,8% pada 263 pasien dengan diabetes tipe 1 dibandingkan dengan 1,7 % orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian kecil yang menghubungkan pasien dengan diabetes tipe 2 dengan penyakit periodontal, memperlihatkan bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 tiga kali lebih mudah mendapatkan penyakit peridontal dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian lain menaksirkan ketika orang dengan diabetes merokok, maka mereka mempunyai kemungkinan 20 kali lebih besar untuk mengalami periodontitis dengan kehilangan tulang pendukung dibanding dengan mereka yang tanpa diabetes.(11)
Ada beberapa hipotesa mengenai keterlibatan DM sebagai faktor etiologi penyakit gingiva dan periodontal :
a.       Terjadinya penebalan membran basal
Pada penderita diabetes melitus membran basal kapiler gingiva mengalami penebalan sehingga lumen kapiler menyempit. Menyempitnya lumen ini menyebabkan terganggunya difusi oksigen, pembuangan limbah metabolisme, migrasi leukosit polimorfonukleus, dan difusi faktor-faktor serum termasuk antibodi.
b.      Perubahan biokimia
Level cyclic adenosine monophospate (cAMP) yang efeknya mengurangi inflamasi pada penderita diabetes melitus menurun; hal mana diduga menjadi salah satu sebab lebih parahnya inflamasi gingiva pada penderita diabetes melitus
c.       Perubahan Mikrobiologis
Peningkatan level glukosa dalam cairan sulkular dapat mempengaruhi lingkungan subgingival, yang dapat menginduksi perubahan kualitatif pada bakteri yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan periodontal
d.      Perubahan Imunologis
Meningkatnya kerentanan penderita diabetes melitus terhadap inflamsi diduga disebabkan oleh terjadinya defisiensi fungsi leukosit polimorfonuklear (LPN) berupa terganggunya khemotaksis, kelemahan daya fagositosis atau terganggunya kemampuannya untuk melekat ke bakteri. dan
e.       Perubahan berkaitan dengan kolagen
Peningkatan level glukosa bisa pula menyebabkan berkurangnya produksi kolagen . Disamping itu terjadi juga peningkatan aktivitas kolagenase pada gingiva.(7)
Beberapa mekanisme juga telah diusulkan untuk menjelaskan peningkatan penyakit periodontal pada penderita DM antara lain : respon dari Host, subgingiva mikroflora, metabolisme kolagen, perdarahan, cairan crevicular gingiva dan faktor keturunan. Berbagai mekanisme patofisiologi juga mempunyai implikasi dalam peningkatan kehilangan tulang alveolar pada penderita diabetes.(8)
Oleh karena itu, pengobatan pencegahan periodontal harus dimasukkan dalam penatalaksanaan yang menyeluruh terhadap pasien dengan diabetes. Pengobatan meliputi penilaian awal dari progesivitas penyakit mulut, penjelasan tentang kebersihan mulut, instruksi dan penilaian yang berhubungan dengan pola makan, perlindungan dari penyakit dengan melakukan pemeriksaan gigi secara periodik.(11)
Yang paling penting dalam pengobatan penyakit periodontitis pada orang dengan diabetes melitus adalah kontrol gula darah yang teratur. Sebab dalam penelitian didapatkan terdapat penurunan penyakit periodontitis pada penderita diabetes melitus dengan kadar gula darah yang terkontrol. (9)

2.      Karies Dentis
Hubungan antara diabetes dan karies gigi telah diselidiki, namun tidak ada organisasi yang menjelaskan secara tuntas. Hal ini penting untuk dicatat bahwa pasien dengan diabetes peka terhadap gangguan sensori mulut, jaringan periodontal, dan produksi air ludah, yang bisa meningkatkan resiko pembentukan baru atau muncul kembali karies pada gigi.(8)
Laju peningkatan karies gigi pada pasien muda dengan diabetes yang telah dilaporkan berhubungan dengan gangguan fungsi pembentukan saliva.(11) Faktor pembentukan karies termasuk unsur-unsur tradisional (sebagai contoh, pengukuran jumlah streptokokus, pada kerusakan gigi sebelumnya) menunjukkan baik tidaknya pengontrolan dari diabetes. Oleh karena itu diperlukan penilaian berkelanjutan oleh dokter gigi terhadap gigi busuk yang baru atau berulang.(8) Dokter gigi juga dapat memberikan pengobatan topical seperti flouride yang mengandung penyengar mulut dan penganti saliva untuk mencegah karies dan mengurangi ketidaknyamanan. (11)

3.      Disfungsi Kelenjar Saliva
Ludah penderita DM seringkali menjadi lebih kental, sehingga mulutnya terasa kering,  disebut xerostomia diabetic.(6,8) Pada penderita diabetes berkurangnya ludah(saliva) dipengaruhi faktor angiopati dan neuropati diabetik, perubahan pada kelenjar parotis dan karena poliuria yang berat.(1,10) Penurunan sekresi air ludah dari kelenjar parotis cenderung membuat pH menjadi turun. Disamping itu terjadi kenaikan kadar glukosa cairan mulut yang akan dimetabolisme oleh bakteri mulut menjadi asam. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suyono Isa, dkk terhadap penderita rawat inap dan rawat jalan di Poliklinik RSUD dr. Moewardi Surakarta dari bulan Januari – Februari 2001 sebanyak 23 orang yang memenuhi kriteria DM dan didapatkan kesimpulan bahwa pH air ludah penderita diabetes secara statistik lebih rendah dibandingkan kontrol sehat.(1)

4.      Penyakit Mukosa Mulut
Diabetes sering dihubungkan dengan kemungkinan yang lebih besar dari terbentuknya kerusakan mukosa mulut. Didapatkan laporan prevalensi yang  besar dari Lichen Planus dan aphthous stomatitis yang berulang.(8)
Lichen Planus secara umum merupakan suatu penyakit kronik mucocutan yang penyebabnya belum diketahui. Secara umum terjadi karena proses imunologi yang melibatkan suatu reaksi hipersensitivitas dalam tingkat mikroskopik. Hal ini ditandai dengan infiltrasi dari limfosit T yang intens (sel CD4+ dan khususnya sel CD8+) yang ditempatkan pada sambungan antara epitel dan jaringan ikat. Regulasi sel imun lainnya (seperti makrofag, sel dendrit, sel Langerhans) dapat terlihat terjadi peningkatan jumlah didalam lesi Lichen Planus. Tampaknya tidak ada hubungan antara Lichen Planus dan hipertensi atau diabetes melitus (ini adalah sindrom Grispan’s) yang awalnya diusulkan.
Bagaimanapun, penelitian terhadap 40 pasien dengan Lichen Planus didapatkan 11 pasien (28 %) mempunyai riawayat diabetes yang laten, dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat pada kelompok kontrol, hal ini menyiratkan kemungkinan adanya hubungan terhadap imunopathogenesis dari Lichen Planus.(11)

5.      Infeksi pada Mulut
Manifestasi lain diabetes dan suatu tanda dari imunosupresif sistemik adalah hadirnya infeksi oportunis seperti candidiasis oral. Infeksi jamur pada permukaan mukosa oral dan pemindahan protheses lebih umum ditemukan pada orang dewasa yang mengidap diabetes. Pseudohifa dari kandida merupakan tanda utama dari infeksi candida pada mulut, dan mempunyai hubungan yang signifikan dengan perokok sigaret, penggunaan gigi palsu dan kontrol gula darah yang rendah pada orang dewasa pengidap diabetes. Penurunan pembentukan air ludah  mungkin juga meningkatkan infeksi candida pada penderita diabetes.(8)
Lesi oral yang dihubungkan dengan kandidiasis meliputi median rhomboid glossitis (atropi pusat papila), glositis atofi, stomatits akibat gigi palsu, kandidiasis pseudomembran dan kheilitis angular. Kandida albican adalah bagian dari mikroflora normal pada mulut yang jarang menginfeksi mukosa mulut tanpa disertai faktor predisposisi. Faktor tersebut meliputi, kondisi penekanan imunologi (misalnya pada AIDS, kanker atau diabetes), pemakaian gigi palsu yang berhubungan dengan kebersihan mulut yang kurang dan penggunaan obat antibiotik spektrum luas dalam jangka panjang. Gangguang fungsi pembentukan air ludah, penekanan fungsi imun dan hipergikemi saliva menyediakan bahan untuk pertumbuhan jamur  merupakan faktor pendukung terbesar untuk kandidiasis mulut pada pasien dengan diabetes.(11)
Profesional pelayan kesehatan harus siap dalam mendiagnosa  kandidiasis dan memberikan pengobatan” tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyebab infeksinya yang bisa merupakan diagnosa dari diabetes melitus.(8)

6.      Gangguan Pengecapan
Lidah merupakan organ utama dalam kesehatan mulut, dan mengalami pengaruh yang kurang baik pada pasien dengan diabetes. Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa lebih dari 1 – 3 orang dewasa dengan diabetes mengalami hypogeusia atau penyusutan persepsi pada lidah yang bisa menghasilkan hiperfagia dan obesitas. Gangguan fungsi sensory ini dapat menghambat kemampuan untuk memelihara suatu pola makan yang sesuai dan bisa mendorong regulasi glukosa kearah yang lebih rendah.(8)
Lidah penderita diabetes juga sering membesar dan terasa tebal sehingga  terjadi gangguan pengecapan pada lidahnya.(6)

7.      Kerusakan neurosensory
Pasien diabetes dilaporkan mengalami peningkatan keluhan terhadap glossodynia dan stomatopyrosis. Secara umum, gangguan sensori saraf wajah dan mulut serta sindrom mulut terbakar dihubungkan dengan diabetes melitus. Pasien kemungkinan mengalami oral dysesthesias yang lama, yang mana memberikan efek yang kurang baik bagi pemeliharaan kesehatan mulut.(8)
Sindrom mulut atau lidah terbakar biasanya secara klinis tidak memperlihatkan luka yang dapat ditemukan, walaupun gejala nyeri dan rasa terbakar dapat terasa berat. Penyebab rasa mulut terbakar bervariasi dan sering sulit diterjemahkan secara klinis. Gejala nyeri dan terbakar nampak hasil dari suatu faktor atau kombinasi dari beberapa faktor. Pada diabetes tidak terkontrol atau secara garis besar terkontrol, faktor penyebabnya bisa meliputi gangguan fungsi pembentukan saliva, kandidiasis dan abnormalitas neurologi seperti depresi. Neuropati saraf otonom dan sensorik-motorik merupakan bagian dari sindrom diabetes, dan prevalensi neuropati pada diabetes melitus mendekati 50% setelah 25 tahun dari awal terjadinya onset dari penyakit, dengan rata-rata 30 persen pada orang dewasa dengan diabetes.
Neuropati mungkin mendorong perasaan kebas atau perasaan geli pada mulut, mati rasa, rasa terbakar atau nyeri disebabkan perubahan patologis yang melibatkan persarafan di daerah mulut. Diabetes telah dihubungkan dengan gejala rasa terbakar pada mulut. Bagaimanapun neuropati pada diabetes dihubungkan dengan nyeri dan rasa terbakar pada bagian tubuh yang lain seperti pada kaki.
Untuk mengurangi gejala mulut terbakar pada penderita diabetes, faktor yang sangat menentukan adalah peningkatan terhadap kontrol gula darah, sehingga kekeringan pada mulut (xerostomia) dan kandidiasis yang merupakan faktor penyebab mulut terbakar dapat di minimalisir.(11)


V.          MANAJEMEN KOMPLIKASI ORAL PADA DIABETES
Pasien dengan kontrol gula darah yang kurang mempunyai resiko terjadinya komplikasi oral karena kepekaan mereka terhadap infeksi dan sequelae serta sangat memerlukan pemberian pengobatan suplemen antibiotik.(8)
Secara umum, orang dewasa dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang terkontrol dengan baik mungkin mempunyai risiko yang tidak signifikan untuk mengalami penyakit mulut yang  progresive dibandingkan dengan mereka yang tanpa diabetes dan karenanya dapat diperlakukan dengan cara yang sama. Misalnya lesi pada corona carious yang belum menembus dentin pada pasien dengan kontrol diabetes yang baik mungkin tidak memerlukan intervensi yang segera,  sedangkan suatu luka yang serupa pada penderita dengan diabetes yang kurang terkontrol  ( hiperglikemia rendah sampai tinggi) mungkin memerlukan tindakan operasi segera, memberikan resiko besar yang progresiv. Secara umum resiko kemungkinan terjadinya komplikasi oral berhubungan dengan kontrol kadar gula darah dan ini dinilai dalam bagian interprestasi dari rata-rata HbA1c dan tingkat kadar gula darah 2 jam setelah makan. (11)
1.      Tata cara pengobatan untuk candidiasis
Dengan pemusatan pada kandidiasis sebagai tanda secara umum atau diabetes yang tidak terkontrol, dan mempunyai hubungan sekunder dengan kelainan fungsi pembentukan saliva, beberapa pengobatan topikal dan sistemik utama dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
PENGOBATAN TERHADAP KANDIDIASIS ORAL
Jenis obat
Waktu pemberian
Dosis
Topikal
Clotrimazole troches1

Nystatin vaginal Supossutoria2

2 minggu

2 minggu

Dipecahkan perlahan dan dimasukkan 1 – 10 mg dalam mulut sebanyak 5 kali/hari

Dipecahkan perlahan satu tablet ( 100.000 unit) dalam mulut 6-8 kali/hari
Sistemik
Flukonazole
Ketokonazole3
Itrakonazole4

2 minggu
2 minggu
2 minggu

100 mg/hari
200 mg/hari
200 mg/hari
1.       Gunakan dengan perhatian karena mengandung gula
2.       Walaupun sedian ini tidak dirancang untuk penggunaan dalam mulut, klinisi harus menemukan ini berguna untuk pengobatan kandidiasis oral ketika kandungan gula dari obat antikandida topikal lainnya menjadi perhatian. Suatu pastiles tanpa yang dibumbui tanpa gula mungkin dihancurkan secara serempak dimulut untuk menyembunyikan rasa nistatin
3.       Gunakan dengan perhatian : awasi sifat hepatotoksis dengan liver fungsi test
4.       Harus digunakan terhadap strain candida albicans yang resisten

Secara umum dinasehatkan kepada dokter gigi bahwa pertama yang dinilai adalah kandungan gula pada beberapa anti jamur sebelum diresepkan. Sebagai contoh clotimazole troches mempunyai kadar gula yang tinggi mungkin akan berlawanan jika diberikan pada penderita dengan diabetes.(11)

2.      Tata cara pengobatan gangguan fungsi kelenjar saliva dan xerostomia
Dasar pemikiran untuk pengobatan xerostomia adalah merangsang pembentukan kelenjar saliva atau terapi pengganti saliva untuk membuat mulut tetap lembab, mencegah gigi busuk dan infeksi kandida. Manajemen pendekatan untuk mulut yang kering adalah dengan menggunakan pergantian saliva dan menstimulasinya; pendekatan ini mungkin mengurangi progresivitas atau mencegah pembentukan dari karies dentis (pembusukan gigi). (11)

3.      Manajemen sindrom mulut terbakar (Burning Mouth Syndrome)
Pada pasien dewasa dengan sindrom mulut terbakar, bermacam faktor mungkin berinteraksi secara sinergis. Pada diabetes yang tidak terkontrol, xerostomia dan kandidiasis dapat memberikan kontribusi terhadap gejala yang berhubungan dengan mulut terbakar. Sebagai tambahan untuk pengobatan terhadap kondisi ini, peningkatan dalam pengontrolan kadar gula darah penting dilakukan untuk mengurangi gejala. Pemberian dosis rendah benzodiazepins, tricyclic antidepresant dan antikonvulsan dapat membantu dalam mengurangi atau menghilangkan gejala setelah beberapa minggu atau bulan. Dosis dari obat ini disesuaikan dengan gejala yang dialami pasien. Efek samping yang berpotensi meliputi xerostomia. Konsultasi dengan dokter pasien sangat perlu karena obat ini mempunyai potensial untuk kecanduan dan ketergantungan. Pengobatan yang biasa digunakan meliputi amitriptilin, nortriptilin, clonazepam dan gabapentin. Yang menarik amitriptilin telah digunakan untuk pengobatan neuropati otonom pada diabetes. (11)

4.      Manajemen periodontal dan pertimbangan bedah
Pada penderita dengan diabetes melitus perawatan periodontal hanya dapat dilakukan jika kadar gula darahnya terkontrol. Apabila akan dilakukan prosedur bedah yang agak besar, sebaiknya diberikan antibiotika satu hari sebelumnya sebagai perlindungan. (12)
Dokter gigi dapat melaksanakan prosedur pembedahan periodontal, walaupun demikian penting bagi pasien untuk memelihara suatu diet yang normal sepanjang tahap pasca pembedahan untuk menghindari hipoglikemia ( kadar gula darah yang rendah dan insulin syok) dan memastikan perbaikan yang efektif. Praktisi gigi harus meninjau ulang sejarah dari komplikasi, menilai kontrol gula darah pasien dan melakukan dialog dengan dokter yang menangani pasien dan para ahli gizi. Makin lama menderita diabetes maka semakin besar kemungkinan pada pasien terjadi pengembangan penyakit periodontalnya.
Pengobatan periodontal yang mendukung harus disajikan pada interval yang relative singkat ( 2 atau 3 bulan). Infeksi periodontal mungkin menyulitkan penderita diabetes dan derajat tingkat kontrol metabolisme. Pasien dewasa dengan diabetes yang terkontrol baik dalam mengikuti prosedur pembedahan secara umum tidak memerlukan antibiotik. Namun pemberian antibiotik sepanjang setelah tahap pembedahan merupakan hal yang sesuai, terutama sekali jika ada infeksi yang penting, rasa sakit dan stress. Pemilihan antibiotik tergantung dari bermacam faktor (sebagai contoh, tingkat kepekaan dan spesifisitas yang diharapkan dan penyebaran dari infeksi), dan harus dilakukan dengan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter pasien.
Perhatian utama pengobatan periodontal pada pasien dengan diabetes melitus adalah non bedah. Pemberian prosedur pembedahan mengharuskan modifikasi dari pengobatan pasien sebelum dan sesudah perawatan, dan juga mungkin mendorong ke arah suatu tahap penyembuhan yang panjang pada penderita diabetes. Kombinasi debridemant non bedah dan terapi antibiotik tetrasiklin pada pasien dengan diabetes melitus yang mempunyai peridontitis mungkin mempunyai pengaruh positif yang potensial dalam pengontrolan kadar gula darah. Penggunaan tetrasiklin pada pengobatan penyakit periodontal telah dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah yang dinilai oleh pemeriksaaan HbA1c.
Beberapa dokumen yang diterbitkan sudah melaporkan suatu tambahan manfaat pada penggunaan tetrasiklin pada pengobatan penyakit periodontal, terutama sebagai penghambat degradasi enzim jaringan ikat, matriks metalloproteinase manusia. Sebagai contoh, dosis rendah dari doxicyclin telah ditunjukkan untuk menghambat kolagenase cairan crevicular gingiva pada dosis yang tidak bersifat antimikroba, dengan mantap menghilangkan resistensi dari bakteri. Tetrasiklin dapat berfungsi sebagai penghambat resorpsi tulang atau kehilangan tulang, dan kemampuan ini tidak terikat pada sifat antimikrobial yang mereka gunakan, hal ini menunjukkan arah dimensi baru terhadap manajemen pengobatan pada periodontitis.(11)

5.      Manajemen penyakit mulut dengan kortikosteroid
Pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat  immunomodulasi mempunyai potensial terhadap efek samping. Oleh karena itu kerjasama yang erat antara dokter dan pasien sangat diperlukan. Penggunaan steroid dalam pengobatan erosi pada liken planus terhadap pasien dengan diabetes menjadi perhatian yang pantas dipertimbangkan karena steroid dapat melawan aksi insulin dan mendorong kearah hiperglikemia. Selama pengobatan dengan steroid, pasien harus diberikan instruksi untuk mengawasi sendiri kadar gula darahnya secara teratur. Penggunaan steroid yang lama ( untuk periode lebih dari 2 minggu secara terus menerus) mungkin akan menyebabkan atrofi mukosa dan kandidiasis sekunder. Kondisi tersebut biasanya terjadi pada diabetes yang tidak terkontrol. Ketika erosi oral karena liken planus telah berkurang, steroid topikal harus dikurangkan secara bertahap lebih rendah dari frekuensi terapi terakhir, tergantung dari pengontrolan erosi dan kemungkinan untuk mengalami kekambuhan. Kemunculan obat imunomodulator non sterod (sebagai contoh, salap tacrolimus, obat topical thalidomide) mungkin berguna dalam manajemen pengobatan pada pasien dengan penyakit mukosa mulut dan diabetes yang tidak terkontrol  secara bersamaan.(11)


VI.       KESIMPULAN
Para dokter gigi memainkan peran utama dengan anggota yang dipadukan dalam tim kesehatan dalam menolong pasien memelihara kontrol gula darah dengan perlakuan baik terhadap infeksi mulut dan dengan menginstruksikan pasien dengan diabetes untuk memelihara kesehatan mulut dan melakukan pola makan yang sesuai.  Dokter gigi bisa memainkan peran utama yang vital dalam menunjuk pasien dengan tanda dan gejala sugestif atau diabetes yang tidak terdiagnosa kepada dokter untuk evaluasi tambahan.
Akhinya sebagai suatu anggota integral dari  regu pelayanan kesehatan, dokter gigi dapat menasehati pasien dengan diabetes untuk berhenti merokok sebagai suatu faktor resiko yang bisa memperburuk kondisi pembuluh darah pada penderita diabetes.
Pasien dengan diabetes yang menerima perawatan medik dengan baik dan yang memelihara kontrol gula darah secara umum dapat menerima indikasi manapun dalam perawatan gigi. Orang dewasa dengan diabetes yang terkontrol dengan baik yang mana tanpa komplikasi sistemik harus diperlakukan dengan cara yang persis sama dengan pasien tanpa diabetes. Antibiotik tidak harus ditentukan kecuali sudah diperlukan (sebagai contoh, suatu infeksi mulut akut).
Pasien dengan komplikasi sistemik akibat diabetes mungkin memerlukan modifikasi dalam perawatan gigi dan perencanaan untuk konsultasi dengan dokter yang merawat pasien. (11)

  
DAFTAR PUSTAKA

1.      Suyono, Isa, Henry, Nugroho,  Derajat Keasaman Air Ludah Pada Penderita Diabetes, www.kalbefarma.com
2.      Anonymous, Remehkan Kesehatan Gigi Picu Diabetes ,www.sinarharapan.co.id
3.      Anonymous, GigiYang Rusak Sumber Infeksi Berbagai Penyakit Kronis, www.depkes.go.id
4.      Rudi Setiadi, Rawatlah Gigi Agar Tak Lekas Ompong, www.pikiran-rakyat.com
5.      Anonymous, Menghilangkan Bau Mulut (Halitosis) www.republika.co.id
6.      Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA Pembangunan.
7.      Saidina Hamzah Dalimunthe, 2001, PERIODONSIA, Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan.
8.      Jonathan A. Ship, D.M.D. Diabetes and Oral Health, Journal American Dental Asociation, Volume 134, October 2003.
9.      Made Ayu Lely Suratri, dkk, Kegoyahan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus: Pengaruh Kadar Glukosa Darah yang Terkontrol terhadap Penurunan Derajat Kegoyahan Gigi, http://digilib.litbang.depkes.go.id
10.  Sayuti Hasibuan, 2002, Keluhan Mulut Kering Ditinjau Dari Faktor Penyebab, Manifestasi dan Penanggulangannya, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
11.  Anthony T. Vernillo, D.D.S, Ph.D, Dental Consideration for the Treatment of Patient with Diabetes Mellitus, Journal American Dental Asociation, Volume 134, October 2003.
12.  Saidina Hamzah Dalimunthe, 2002, TERAPI PERIODONTAL, Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Note : ditulis ketika menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Gigi dan Mulut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar