Label

Minggu, 10 Mei 2020

Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria


Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria

I.         Pendahuluan
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit yang timbul mendadak dan/atau disertai angiodema; ukurannya bervariasi, biasanya dikelilingi eritema, terasa gatal atau sensasi terbakar, umumnya menghilang dalam 1-24 jam. Angioedema terjadi akibat edema lapisan dermis bagian bawah dan jaringan subkutan, biasanya lebih dirasakan sebagai sensasi nyeri, dan menghilang setelah 72 jam.1
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor pencetus. Berdasarkan durasi, urtikaria dapat diklasifikasikan menjadi urtikaria akut (<6 minggu) dan urtikaria kronis (>6 minggu).1 Urtikaria harus dibedakan dengan kondisi atau penyakit lain yang menimbulkan peninggian kulit atau angioedema, seperti tes tusuk kulit, reaksi anafilaksis, sindrom autoinflamasi, dan hereditary angioedema.2
Urtikaria mempunyai dampak cukup signifikan terhadap kualitas hidup penderitanya, meskipun sering dianggap ringan.

II.      Epidemiologi
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi yang diteliti.1 Prevalensi hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin meningkat di Australia.3 Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak usia 0-4 tahun.3 Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai pada usia 5-34 tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggipada usia >65 tahun.3 Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia rata-rata 40 tahun).4
Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%.5 Sebanyak 8-20% populasi diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam perjalanan hidupnya dan sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria kronis spontan.1,6
Prevalensi urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak.7 Prevalensi urtikaria kronis pada dewasa berdasarkan durasinya adalah: 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan (18,5%), 7-12 bulan (9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%).4

III.   Klasifikasi
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor yang menginduksi (induced vs spontaneus). Berdasarkan durasi, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronis. Urtikaria akut terjadi <6 minggu, apabila >6 minggu disebut sebagai urtikaria kronis. Klasifikasi berdasarkan durasi penting untuk mengetahui patogenesis dan menentukan terapi. Klasifikasi berdasarkan faktor pencetus, dapat dilihat di tabel 1.1
Tabel 1. Klasifikasi urtikaria berdasarkan ada tidaknya faktor pencetus1
Tipe
Subtipe
Definisi
Urtikaria spontan
Urtikaria spontan akut
Tidak ada faktor pencetus, < 6 minggu
Urtikaria spontan kronis
Tidak ada faktor pencetus, < 6 minggu
Urtikaria fisik
Urtikaria kontak dingin
Faktor pencetus: benda yang dingin/udara/cairan/angin
Urtikaria kontak panas
Faktor pencetus: panas yang terlokalisir
Urtikaria dermografik/urticaria factitita
Faktor pencetus: tekanan atau goresan mekanis (timbul setelah 1-5 menit)
Urtikaria solar
Faktor pencetus sinar UV dan/atau visible light
Delayed pressure urtikaria
Faktor pencetus : tekanan vertikal (timbul setelah 3-12 jam)
Urtikaria vibratori
Faktor pencetus getaran
Urtikaria tipe lain
Urtikaria aquagenik
Faktor pencetus air
Urtikaria kolinergik
Faktor pencetus peningkatan suhu tubuh akibat olahraga atau makanan pedas
Urtikaria kontak
Faktor pencetus kontak dengan bahan yang menyebabkan urtikaria
Urtikaria yang diinduksi olahraga
Faktor pencetus olahraga


IV.   Gejala Klinis
Urtikaria ditandai dengan timbulnya peninggian pada kulit dan/atau angioedema secara mendadak. Peninggian kulit pada urtikaria harus memenuhi kriteria di bawah ini:
1.      Ditemukan edema sentral dengan ukuran bervariasi, dan bisa disertai eritema di sekitarnya
2.      Terasa gatal atau kadang-kadang sensasiterbakar
3.      Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam, ada yang < 1 jam.
Angioedema ditandai dengan karakteristik berikut:
1.       Edema dermis bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul mendadak, dapat berwarna kemerahan ataupun warna lain, sering disertai edema membran mukosa.
2.       Lebih sering dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal, dapat menghilang setelah 72 jam.

Gambar 1. Urtikaria pada lengan (A),

 Angioderma pada mata (B).8

V.      Patogenesis
Urtikaria adalah penyakit yang diperantarai sel mast. Sel mast yang teraktivasi akan mengeluarkan histamin dan mediator lain seperti platelet activating factor (PAF) dan sitokin. Terlepasnya mediator-mediator ini akan menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, ekstravasasi plasma, serta migrasi sel-sel inflamasi lain ke lesi urtikaria. Pada kulit yang terkena, dapat ditemukan berbagai jenis sel inflamasi, antara lain eosinofil dan/atau neutrofil, makrofag, dan sel T.9
Banyak teori etiologi urtikaria, sampai sekarang belum ada yang bisa dibuktikan. Beberapa teori antara lain:
1.      Faktor psikosomatis
Dulu urtikaria kronis spontan dianggap disebabkan oleh gangguan cemas, ada beberapa data bahwa gangguan cemas akan memperburuk penyakitnya.10 Saat ini dapat disimpulkan bahwa kelainan mental (seperti depresi dan kecemasan) akan mempengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi bukan penyebab urtikaria.1
2.      Alergi makanan tipe 1
Hubungan antara alergi makanan dan urtikaria kronis masih diperdebatkan. Beberapa ahli tidak menganjurkan eliminasi diet pada pasien urtikaria, tetapi sebagian menemukan perbaikan pada 1/3 pasien urtikaria kronis spontan yang melakukan diet eliminasi.11
3.      Autoreaktivitas dan autoimun
Degranulasi sel mast akan menyebabkan infiltrasi granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil), sel T, dan monosit yang akan menyebabkan urtikaria.12 Jika serum pasien diinjeksikan intradermal ke kulit pasien sendiri, dapat ditemukan infiltrasi sel-sel inflamasi yang pada akhirnya menyebabkan urtikaria, disebut autoreaktivitas, yang ditemukan ± pada 30% pasien.1 Selain autoreaktivitas, dapat juga ditemukan reaksi autoimun. Pada awalnya, hanya ditemukan adanya IgG terhadap subunit α reseptor IgE pada 5-10% pasien, tetapi berangsur-angsur IgG ini makin banyak ditemukan pada 30-40% pasien urtikaria. IgG akan terikat pada IgE reseptor mengaktivasi jalur komplemen klasik (dilepaskannya C5a), basofil, dan sel mast. Meskipun demikian, adanya antibodi ini tidak membuktikan hubungan kausalitas.1
4.      Peran IgE
Terapi dengan anti-IgE (omalizumab) memberikan hasil yang baik.13 Oleh karena itu, salah satu etiologi urtikaria dianggap berhubungan dengan IgE.1

VI.   Diagnosis
Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin; tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu.11 Tujuan diagnosis adalah menentukan tipe dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi.1
Urtikaria akut lebih sering dijumpai dan biasanya cepat menghilang, tetapi identifikasi etiologi penting untuk mencegah kekambuhan. Etiologi urtikaria akut sebagian besar dapat diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, jarang dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pada anak, etiologi yang sering adalah infeksi virus dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan dan obat-obatan, seperti antibiotik dan NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drug), dapat sebagai penyebab pada anak ataupun dewasa. Tes diagnostik hanya diindikasikan apabila dicurigai didasari oleh alergi tipe I.1
Urtikaria kronis mempunyai lebih banyak etiologi dan subtipe, sehingga selain anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, dibutuhkan tes diagnostik rutin; antara lain darah lengkap, fungsi hati, laju endap darah (LED), dan kadar C-reactive protein (CRP). Tes diagnostik lanjutan dipertimbangkan pada urtikaria kronis berat dan persisten untuk identifikasi faktor pencetus dan menyingkirkan diagnosis banding.
Anamnesis penting untuk menegakkan diagnosis, meliputi hal-hal seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Pertanyaan terkait urtikaria
No
Pertanyaan
1.
Onset
2.
Frekuensi dan durasi
3.
Variasi diurnal
4.
Korelasi dengan riwayat perjalanan, liburan atau akhir minggu
5.
Bentuk, ukuran dan distribusi lesi
6.
Ada/tidaknya angioedema
7.
Keluhan, misalnya gatal atau nyeri
8.
Riwayat urtikaria atau atopi, riwayat pada keluarga
9.
Riwayat alergi, infeksi, atau penyakit sistemik yang sedang atau pernah di derita.
10.
Penyakit psikosomatis atau psikiatri
11.
Operasi implan
12.
Gangguan pencernaan (lambung/usus)
13.
Induksi oleh Agen fisik atau aktifitas fisik
14.
Penggunaan obat-obatan (NSAIDs, injeksi imunisasi, hormon, laksatif, supositoria, tetes telinga atau mata, dan obat herbal)
15.
Korelasi dengan makanan
16.
Korelasi dengan siklus menstruasi
17.
Kebiasaan merokok
18.
Pekerjaan
19.
Hobi
20.
Stress
21.
Kualitas hidup pasien terkait urtikaria dan efek emosional
22.
Riwayat pengobatan dan respon pengobatan

Urtikaria, terutama tipe kronis, dapat mengganggu kualitas hidup. Salah satu kriteria penilaian kualitas hidup adalah Urticaria activity score (Tabel 3).
Tabel 3. Urticaria activity score14
Skor
Urtika
Gatal
0.
Tidak ada
Tidak ada
1.
Ringan (< 20 urtika/24 jam)
Ringan (ada rasa gatal tetapi tidak mengganggu)
2.
Sedang (20-50 urtika/24 jam)
Sedang (rasa gatal yang mengganggu, tetapi tidak mempengaruhi tidur atau aktifitas sehari-hari)
3.
Berat (> 50 urtika/24 jam atau urtika yang berkonfluens pada 1 area luas)
Berat (rasa gatal yang hebat, mengganggu dan mempengaruhi tidur atau aktifitas sehari-hari)

Tes dermografisme untuk diagnosis urtikaria dermografik. Tes diagnostik rutin dan lanjutan dapat dilihat pada (tabel 4).

 Tabel 4. Tes diagnostik yang di rekomendasikan menurut tipe dan subtipe
Tipe
Subtipe
Tes diagnostik rutin
Tes diagnostik lanjutan
Urtikaria spontan
Urtikaria spontan akut
Tidak ada
Tidak ada
Urtikaria spontan kronis
Darah lengkap, LED/CRP
Tes untuk: (i) penyakit infeksi
(misalnya Helicobacter pylori);
(ii) alergi tipe I; (iii) autoantibodi
fungsional; (iv) hormon tiroid
& autoantibodi; (v) skin tests
termasuk tes fisik; (vi) diet bebas
pseudoalergen selama 3 minggu &
triptase; (vii) biopsi lesi kulit dan skin
test serum autologus
Urtikaria fisik
Urtikaria kontak dingin
Tes provokasi terhadap dingin & tes
ambang batas
Darah lengkap, LED atau CRP
untuk menyingkirkan penyakit lain,
terutama infeksi
Urtikaria kontak panas
Tes provokasi terhadap panas & tes
ambang batas
Tidak ada
Urtikaria dermografik/
urticaria factitia
Tes dermografisme
Darah lengkap, LED/CRP
Urtikaria solar
Sinar UV atau visible light dengan
panjang gelombang yang berbeda
Bedakan dengan dermatosis akibat
cahaya yang lain
Delayed pressure
Urticaria
Pressure test (0,2-1,5kg/cm2 selama
10-20 menit)
Tidak ada
Urtikaria tipe lain
Urtikaria aquagenik
Tempelkan kain basah dengan suhu
sesuai suhu badan selama 20 menit
Tidak ada
Urtikaria kolinergik
Olahraga dan provokasi dengan
mandi air panas
Tidak ada
Urtikaria kontak
Uji tusuk atau tempel yang dibaca
setelah 20 menit
Tidak ada
Urtikaria yang diinduksi
olahraga
Berdasarkan adanya riwayat
olahraga, bisa disertai tidak dengan
makan sebelumnya, tetapi tidak
setelah mandi air panas
Tidak ada
VII. Tatalaksana
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada pedoman terapi untuk urtikaria. Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi EEACI (European Academy of Allergy and Clinical Immunology) / GA2LEN (the Global Allergy and Asthma European Network) / EDF (the European Dermatology Forum) / WAO (World Allergy Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology and Venereology) untuk urtikaria kronis di Asia pada tahun 2010.15
Tabel 5. Manajemen urtikaria menurut guideline EAACI/GA2LEN/EDF/ WAO10
Sub tipe
Terapi
Terapi alternatif
Urtikaria akut spontan
Antihistamin-Hl nonsedatif
Prednisolone 2x20 mg/hari selama 4 hari
Antihistamin-Hl nonsedatif
Prednisolone 50 mg/hari selama 3 hari; antihistamin-H2 dosis tunggal
selama 5 hari
Tingkatkan dosis sampai
4x
(apabila tidak membaik
setelah 2 minggu)
Kombinasi antihistamin H-l non-sedatif dengan antihistamin-H2
(Cimetidine).
Monoterapi: Antidepresan trisiklik (doxepin), Ketotifen, Hydroxychloroquine,
Dapsone, Sulfasalazine, Methotrexate, Kortikosteroid
Pilihan terapi lain
Terapi kombinasi: Antihistamin-Hl non-sedatif dan Stanazolol
Antihistamin-Hl non-sedatif dan Zafirhikast Antihistamin-Hl non-sedatif
dan Mikofenolat mofetil Antihistamin-Hl non-sedatif dan narrowband
UV-B Antihistamin-Hl non-sedatif dan Omalizumab
Monoterapi: Oxatomide, Nifedipin, Warfarin, Interferon, Plasmafaresis
Imunoglobulin, Injeksi whole blood autologus
Urtikaria fisik
Menghindari stimulus
-
U r t i k a r i a
dermografisme
simptomatis
Antihistarnin-Hl nonsedatif
Ketotifen; narrowband UV-B
Delayed pressure
Urticaria
Antihistamin-Hl nonsedatif
(cetirizine)
Terapi kombinasi:
Montelukast dan antihistamin-Hl non-sedatif (Loratadine)
Monoterapi: Prednisolone 20-40mg
Pilihan terapi lain
Terapi kombinasi: Ketotifen dan nimesulide
Monoterapi: Klobetasol propionat topikal, Sulfasalazine
Urtikaria dingin
Antihistamin-Hl nonsedatif
Tingkatkan dosis sampai
4x lipat
Dicoba dengan penicillin i.m/p.o atau doksisiklin p.o
Induksi toleransi fisik
Pilihan terapi lain
Cyproheptadine, Ketotifen, Montelukast
Urtikaria solar
Antihistamin-Hl nonsedatif
Induksi toleransi fisik
Pilihan terapi lain
Plasmafaresis - PUVA, fotofaresis, pertukaran plasma, IVIGs, Omalizumab
Urtikaria kolinergik
Antihistamin-Hl nonsedatif
Tingkatkan dosis sampai
4x lipat bila perlu
Exercise tolerance”
Pilihan terapi lain
Ketotifen, Danazol Omalizumab

Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama, yaitu:16
1.      Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus
2.      Terapi simptomatis
a.      Identifikasi dan Eliminasi Faktor Penyebab / Pencetus
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang menyeluruh dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor diduga penyebab, faktor ini baru bisa disimpulkan sebagai penyebab jika terjadi kekambuhan setelah tes provokasi.16
b.      Terapi Simptomatis
Tujuan utama terapi adalah menghilangkan keluhan. Panduan terapi menurut EEACI/ GA2LEN/EDF/WAO dapat dilihat pada gambar 2.14
1.      Antihistamin1
Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine, bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine) memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi dengan baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama. Apabila keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif selama 2 minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan sampai 4 kali lipat dosis awal yang diberikan (gambar2).
Antihistamin generasi pertama sudah jarang digunakan, hanya direkomendasikan sebagai terapi tambahan urtikaria kronis yang tidak terkontrol dengan antihistamin generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya diberikan dosis tunggal malam hari karena mempunyai efek sedatif.
Gambar 2. Algoritme terapi urtikaria15

2.      Antagonis H2
Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1 pada urtikaria kronis. Meskipun efikasinya rendah, beberapa ahli berpendapat bisa diberikan sebelum terapi lini kedua.1
3.      Antagonis reseptor leukotrien
Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat rekomendasinya rendah. Dari beberapa penelitian, disimpulkan bahwa terapi ini hanya bermanfaat pada urtikaria kronis spontan yang berhubungan dengan aspirin atau food additives, tetapi tidak bermanfaat pada urtikaria kronis lain.16 Terapi ini dapat dicoba pada pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.
4.      Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut urtikaria kronis.14 Belum ada konsensus yang mengatur pemberian kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah yang memberikan efek dalam periode singkat.18 Salah satu kortikosteroid yang disarankan adalah prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg setiap minggu.1
5.      Agen anti inflamasi
Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat dipertimbangkan karena harganya terjangkau dan efek sampingnya minimal, antara lain menggunakan dapson, sulfasalazine, hidroksiklorokuin,dan kolkisin.1
6.      Imunosupressan
Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor kalsineurin (siklosporin). Imunosupresan lain (azatioprin, metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat mofetil) dapat dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak merespons antihistamin generasi pertama.1
7.      Agen biologis
Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah omalizumab. Omalizumab dianggap bisa menjadi obat pilihan beberapa tahun lagi, tetapi mahal dan efek samping jangka panjang masih belum diketahui.1
8.      Plasmaferesis
Plasmaferesis pernah berhasil dilakukan pada beberapa pasien urtikaria kronik yang terjadi sepanjang waktu. Pada kasus tersebut didapatkan adanya bukti-bukti autoantibodi yang dapat mencetuskan pelepasan histamin.19




VIII.       Prognosis
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam. Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran napas bagian atas. Pada anak-anak, 20-30% urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun.1,3 Prognosis urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5 tahun.1

IX.   Kesimpulan
Urtikaria adalah kelainan kulit yang banyak dijumpai, jarang berbahaya, umumnya menghilang sendiri. Urtikaria berdasarkan durasi dibedakan menjadi urtikaria akut (<6 minggu) dan urtikaria kronis (>6 minggu). Berdasarkan ada/tidaknya faktor pencetus, dibedakan menjadi urtikaria spontan, urtikaria yang disebabkan agen fisik, dan urtikaria tipe lain.
Diagnostik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin, dan tes diagnostik lanjutan apabila diperlukan. Tatalaksana meliputi identifikasi serta eliminasi faktor penyebab dan terapi simptomatis. Prognosis urtikaria akut pada umumnya baik, sedangkan urtikaria kronis prognosisnya bervariasi.









DAFTAR PUSTAKA

1.      Borges MS, Asero R, Ansotegui IJ, Baiardini I, Bernstein JA, Canonica GW, et al. Diagnosis and treatment of urticaria and angioedema: A worldwide perspective. WAO Journal [Internet]. 2012 ;5:125-47. Available from: http://waojournal.biomedcentral.com/articles/10.1097/WOX.0b013e3182758d6c
2.      Zuberbier T, Aberer W, Asero R, Bindslev-Jensen C, Brzoza Z, Canonica GW, et al. The EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline for the definition, classification, diagnosis, and management of urticaria: The 2013 revision and update. European Journal of Allergy and Clinical Immunology [Internet]. 2013
3.      Poulos LM, Waters AM, Correll PK, Loblay RH, Marks GB. Trends in hospitalizations for anaphylaxis, angioedema and urticaria in Australia, 1993-1994 to 2004-2005. J Allergy Clin Immunol. 2007;120(4):878-84.
4.      Gaig P, Olona M, Muñoz Lejarazu D, Caballero MT, Domínguez FJ, Echechipia S, et al. Epidemiology of urticaria in spain. J Investig Allergol Clin Immunol. 2004;14(3):214-20.
5.      Tjekyan S. Prevalensi urtikaria di kota palembang tahun 2007 (the prevalence of urticaria in palembang 2007). Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 2012;20(1):1-6
6.      Greaves M. Chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2000;105:664-72
7.      Greenberger PA. Chronic urticaria: New management options. WAO Journal [Internet]. 2014 Available from: http://www.waojournal.org/content/7/1/31
8.      Kaplan AP. Urticaria and angioedema: Synopsis [Internet]. 2014 Available from:http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/urticaria/urticariasynopsis.php
9.      Ito Y, Satoh T, Takayama K, Miyagishi C, Walls AF, Yokozeki H. Basophil recruitment and activation in inflammatory skin diseases. Allergy. 2011;66(8):1107-13. doi: 10.1111/j.1398-9995.2011.02570.x.
10.  Maurer M, Weller K, Bindslev-Jensen C, Giménez-Arnau A, Bousquet PJ, Bousquet J, et al. Umnet clinical needs in chronic spontaneous urticaria: A Galen task force report. Allergy. 2011;66(3):317-30. doi: 10.1111/j.1398-9995.2010.02496.x.
11.  Magerl M, Pisarevskaja D, Scheufele R, Zuberbier T, Maurer M. Effects of a pseudoallergen diet on chronic spontaneous urticaria: A prospective trial. Allergy. 2010;65(1):78-83. doi: 10.1111/j.1398-9995.2009.02130.x.
12.  Ying S, Kikuchi Y, Meng Q, Kay AB, Kaplan AP. Th1/Th2 cytokines and inflammatory cells in skin biopsy specimens from patients with chronic idiopathic urticaria: Comparison with the allergen-induced late-phase cutaneous reaction. J Allergy Clin Immunol. 2002;109:694-700
13.  Eckman JA, Sterba PM, Kelly D, Alexander V, Liu MC, Bochner BS, et al. Effects of omalizumab on basophil and mast cell responses using an intranasal cat allergen challenge. J Allergy Clin Immunol. 2010;125:889-95
14.  Zuberbier T. A summary of the new international EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guidelines in urticaria. WAO Journal [Internet]. 2012
15.  Asian Academy of Dermatology and Venerology. AADV asian consensus guideline for management of chronic urticaria: Special Proceedings from the 19th RCD [Internet]. 2010 Oct. Available from: http://asianderm.org/download/AADV_booklet01.pdf
16.  Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, Walter Canonica G, Church MK, Giménez-Arnau AM, et al. EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline: Management of urticaria. Allergy [Internet]. 2009 [cited 2016 May 14];64:1427-43. Available from: www.ga2len.net/464D9d01.pdf
17.  Reimers A, Pichler C, Helbling A, Pichler WJ, Yawalkar N. Zafirlukast has no beneficial effects in the treatment of chronic urticaria. Clin Exp Allergy. 2002;32:1763-8
18.  Asero R, Tedeschi A. Usefulness of a short course of oral prednisone in antihistamine-resistant chronic urticaria: A retrospective analysis. J Invest Allergol Clin Immunol. 2010;20:386-90.
19.  Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul effendi, et all, Urtikaria dan Angioedema, dalam buku Ajar Ilmu penyakit Dalam, Interna Publishing, 2014, 495 – 503.