Setelah dikukuhkan dalam muktamar lalu, PDUI segera melakukan beberapa langkah strategis untuk anggotanya, baik soal kesejahteraan maupun kompetensi. Ada target yang dipasang oleh pengurusnya.
Palu pada sidang pleno Muktamar Dokter Indonesia XXVII telah diketuk. Hasil sidang telah mengesahkan terbentuknya beberapa perhimpunan kedokteran baru. Salah satunya adalah perhimpunan yang termasuk perhimpunan dokter pelayanan primer, yaitu Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Putusan ini, melegakan bagi Dr. Mawari Edy dan kawan-kawan, setelah melewati berbagai rintangan untuk memiliki 'kamar' sendiri di 'rumah' mereka, 'rumah' bernama IDI.
Perjuangan untuk mendirikan PDUI bukanlah hal yang mudah. Dipicu oleh berbagai permasalahan yang dialami oleh dokter umum dan IDI dianggap tidak mampu memberikan solusi, beberapa dokter umum mulai 'jengah'. Berbagai persoalan muncul secara sporadis, mulai soal gaji yang minim hingga fasilitas yang tak didapatkan. Persoalan tersebut, menurut Dr. Mawari Edy muncul bahkan sejak jaman orde baru. "Namun saat itu kami masih dininabobokan oleh heroisme," ujarnya. Puncaknya pun terjadi sekitar tahun 1999, dengan terbentuknya Forum Dokter Umum Indonesia. "Tujuannya bukan untuk membentuk sebuah organisasi, tapi hanyalah konsolidasi gerakan untuk memperjuangkan nasib dokter umum yang tidak terurus," ujar Mawari lagi.
PDUI melewati tiga fase dalam sejarahnya. Fase pertama adalah sebelum lokakarya pada tanggal 4 Agustus 2007. "Dari lokakarya itu mulai muncul gagasan untuk membentuk persatuan, perhimpunan, atau apalah namanya untuk menaungi dokter umum," kata Mawari. Fase 2 adalah paska lokakarya hingga deklarasi tanggal 14 Agustus 2008. Setelah itu fase 3, fase terakhir menjelang perhimpunan ini diresmikan dalam muktamar yaitu pada Kongres November 2009 lalu. Sebelum fase pertama, upaya konsolidasi, advokasi, maupun upaya untuk mengurus keprofesian masih nampak kabur.
Dr. Imelda Datau bersama rekan-rekan sempat memunculkan organisasi yang bernama Persatuan Dokter Indonesia (PDrI). "Ada ide dari teman-teman untuk membuat organisasi lain di luar IDI untuk menaungi dokter umum," ujar Imelda. PDrI melakukan deklarasi di Gedung Stovia. Beberapa senior juga sempat menyatakan dukungannya. Apa reaksi IDI? "Waktu itu saya dicurigai melakukan gerakan politik. Kami dikira hendak membentuk IDI tandingan. Saya bilang kami hanya ingin ada yang mengurusi dokter umum," ujar Imelda.
Dr. Fahmi Idris yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jendral PB IDI mencoba berdialog dengan para dokter umum yang bersemangat tersebut. Fahmi mengajak para doter umum tersebut untuk bersama-sama memikirkan langkah ke depan untuk dokter umum. Pada hakekatnya, menurut Mawari, mereka menyadari, bahwa organisasi profesi selayaknya adalah satu yang bisa menaungi kepentingan anggota-anggotanya. Imelda dan rekan diminta untuk duduk dalam kepengurusan IDI untuk bersama-sama membangun korps dokter umum. PDrI dalam perjalanannya dibekukan, dan para pendirinya berkonsentrasi untuk membuat perhimpunan selanjutnya di bawah payung IDI.
Muktamar IDI lalu pun, masih menyisakan pe-er untuk para pemangku jabatan di PB IDI. Keputusan mengenai kolegium belum dibuat, apakah kolegium PDUI adalah kolegium yang sudah ada saat ini, atau dibentuk kolegium baru. "Kami akan mengikuti aturan yang disepakati dalam muktamar," kata Mawari.
Rapatkan Barisan, Tingkatkan Kesejahteraan
Hingga akhirnya PDUI dikukuhkan dalam Muktamar lalu, para dokter umum menemukan tonggaknya untuk memulai fase perjuangan selanjutnya. Bergerak bersama-sama untuk maju memerlukan semangat dan usaha yang tak pernah putus. Dengan visi "Dokter umum yang profesional, bermartabat, dan sejahtera", general practitioner mulai menyusun berbagai langkah. Profesional berarti kompeten dan bermartabat untuk menjunjung nilai etik kedokteran yang seharusnya. Sejahtera memiliki makna bahwa dokter umum dapat memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. "Kebutuhan di sini bukan hanya kebutuhan biologis, tapi juga kebutuhan untuk CPD, dan kebutuhan sekunder adalah bagaimana kami dapat mengembangkan ilmu," kata Mawari.
Tahap awal, terutama organisasi baru, adalah membuat konsolidasi anggota. PDUI mulai menyebarkan jejaring. Dengan jumlah 23 cabang di seluruh Indonesia, dalam jangka pendek akan diupayakan menjadi 33 cabang. Struktur organisasi pusat hingga daerah akan dilengkapi untuk men-support berbagai urusan terkait dokter umum.
Dalam jangka pendek juga, masalah P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan) akan menjadi hal yang mendesak. Untuk mendukung P2KB, PDUI akan mengadakan berbagai kegiatan yang memiliki nilai SKP untuk pengumpulan skor. "Kami juga akan membantu dalam pengurusan STR," kata Mawari. Untuk melengkapi pre registrasi STR, PDUI akan memonitor apakah nilai SKP seorang dokter umum sudah mencukupi dan apakah yang bersangkutan sudah mendaftar P2KB melalui online.
Bagi dokter yang berada di daerah pedalaman atau perbatasan yang memiliki hambatan untuk mengakses informasi, PDUI akan memberikan bantuan agar hal tersebut tidak menghalangi dokter dalam memenuhi aturan P2KB. Demikian juga berbagai informasi akan disebarluaskan melalui berbagai media dan kegiatan seperti seminar, brainstorming, getok tular, sms berantai, jejaring sosialfacebook, situs PDUI, atau layanan lain yang tersedia di ranah maya. Pada dasarnya, menurut Mawari, PDUI mengajak seluruh anggota PDUI untuk menyadari bahwa program P2KB ini adalah kepentingan dokter umum, bukan semata kepentingan lembaga. Yang terbaik adalah seluruh jajaran dokter umum baik pengurus maupun anggota bergerak secara sinergis. "Jadi kita bersama-sama mengurusi urusan kita ini. Itu sejak awal kami tekankan di PDUI," ujar Mawari. "Jadi ketua PDUI bukan berarti bosnya dokter umum."
Masalah lain yang akan menjadi agenda penting PDUI adalah soal kesejahteraan. Masih banyak dokter umum yang belum mendapatkan hak yang semestinya. "Kami akan melakukan banyak hal, bagaimana caranya agar dokter umum itu sejahtera," ujar Imelda.
Hal lain yang akan dilakukan PDUI adalah mengubah paradigma mengenai kesehatan. Paradigma itu tidak menekankan pada mengobati orang sakit, tetapi membuat si sehat tetap sehat. Karena masalah kesehatan di negeri ini begitu beragam, PDUI akan mengupayakan agar dokter umum bergerak ke arah hulu, yaitu upaya-upaya preventif dalam kesehatan. Dokter umum harus secara langsung bersentuhan dengan masyarakat, salah satunya dengan menjadi role model untuk perilaku hidup sehat.
PDUI juga tengah merancang sebuah pendekatan baru, sebuah 'style' baru untuk membentuk citra baru agar dokter umum tidak dipandang sebelah mata. Ranah pelayanan dokter umum akan dikemas dan diperbaiki agar profesional, sehingga dokter umum dokter umum dapat memberikan daya ungkit perubahan pelayanan yang sangat besar. Di masyarakat, harkat dan martabat dokter umum harus lebih ditingkatkan, dan pada dasarnya semua tergantung 'image' yang melekat. Dr. Diah Waluyo mengatakan, "Sebagai profesi mereka harus kompeten sehingga masyarakat percaya dan wibawa mereka meningkat." Secara internal, perbaikan harus dilakukan, seperti bagaimana membuat klinik yang semestinya, jangan sampai tempat praktek terlihat kumuh atau bahkan tidak ada ada peralatan medis yang menunjang. Diah juga menekankan bahwa semangat sebagai dokter umum harus dipelihara, agar dokter umum tidak merasa lebih rendah dari yang lain, seperti dari dokter spesialis.
Dan saat ini, kami sedang merancang satu pendekatan baru, sebuah style baru untuk membentuk citra baru dokter umum biar tidak dipandang sinis, "Ah, cuma dokter umum". Kami akan mengemas dan memperbaiki ranah pelayanan agar profesional, sehingga dokter umum dapat memberikan daya ungkit perubahan pelayanan yang sangat besar.
Dokter umum jumlahnya ada sekitar 50 ribu orang. Jika mereka bisa diberdayakan untuk bisa memberikan pelayanan terbaik dengan kemampuan yang bagus dalam menganalisa penyakit dan pengobatan, maka rantai pengobatan penyakit tidak akan terlalu panjang. Dan itu akan menguntungkan masyarakat. Cara berfikirnya tidak lagi melayani orang sakit, tapi bagaimana melayani orang sehat agar tetap sehat.
Sumber : Majalah Farmacia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar